Sekadar ilustrasi yang tak ada hubungan dengan isi cerita, mau dihubung-hubungkan boleh juga.
Begitulah rasanya saat kau menghajarku dulu, barangkali lebih parah, semoga kau tak tersadar di bangsal.
TIBA-TIBA aku berpapasan dengannya, di sebuah muka lorong kota Bandar Raja. Aku hendak belok ke kanan, ia belok ke kiri. Seketika wajah kami saling bertemu dan tentu saja saling mengenal. Ia menghentikan laju sepeda motornya, aku juga. Lama betul aku tak melihatnya, bahkan aku lupa kapan terakhir melihat senyumnya. Dari obrolan singkat itu, ia bilang sedang menjalankan toko menjual sepatu, baju, celana dan sebagainya.
"Bagaimana denganmu, apa yang kau kerjakan sekarang," katanya.
Jika bertemu dengan siapapun, apalagi dengan kawan sekampung macam si Kelinci ini. Aku lebih suka menyembunyikan perihal pekerjaan yang kuemban. "Pekerjaanku merampungkan kuliah." Itu jawaban yang benar adanya. Jika saja aku menyebut kantor, pertanyaan-pertanyaan lain tentu akan keluar dari mulutnya. Obrolan di bahu jalan dengan panas terik yang menganga bakal lebih panjang.
"Baiklah, sampai bertemu lagi." Ia berlalu.
Dalam perjalanan pulang, ingatan tentang si Kelinci membawaku ke masa lalu. Saat dimana kepalan tangannya yang seperti batu, menghatam pelipisku. Aku terhoyong dan hampir saja terkapar ke tanah. Akhirnya ambruk juga, tendangan kaki kanannya yang sama kerasnya menghujam perutku dengan telak. Ngilunya bukan main, aku menangis tanpa suara sambil memeluk wilayah pusarku.
Andai saja emosi si Kelinci tak dikendalikan oleh kawan-kawannya, bisa saja aku akan bangun di bangsal rumah sakit. Lebih parah, tak menutup kemungkinan kau tidak akan membaca cerita ini.
Aku masih ingat masa masih bocah waktu itu. Kala hari raya tiba, sudah menjadi tradisi kami saling baku hantam tembak-menembak bersenjata mainan. Aku saling baku hantam dengan musuh bebuyutan. Suatu kali yang celaka, pasukanku di pukul mundur. Aku berlari terbirit-birit dikejar tim si Kelinci. Nahas, aku masuk lorong buntu. Di situlah si Kelinci mengepung dan menghajarku habis-habisan.
Beberapa waktu berlalu setelah perjumpaanku dengan si Kelinci di Bandar Raja. Aku pulang ke Kota Bunga Jeumpa. Hari raya adalah kesempatanku pulang ke tanah kelahiran, di tengah kesibukan kantor dan kuliah yang tak kunjung selesai. Namun, hari raya di mana aku sudah jatuh cinta pada seorang perempuan, sungguh berbeda dengan hari raya aku terlibat tragedi dengan si Kelinci tempo dulu. Anak-anak tidak lagi bergerombol menenteng senjata mainan semisal AK-47 atau Shotgun di pinggir jalan. Kini mereka masih berperang juga, di gawainya masing-masing belakang kios-kios kelontong.
Di sebuah warung kopi aku berkumpul dengan kawan-kawanku. Hari raya, membuat obrolan kami sering menggelinding ke masa lalu yang tak seseru lagi di zaman kini. Yah, begitulah zaman semakin berubah tanpa mampu dikendalikan. Hanya sisa kenangan lalu yang bisa dibawa pulang setingkat obrolan warung kopi. Tiba-tiba aku teringat si Kelinci.
"Omong-omong si Kelinci dimana sekarang?"
"Sudah disekolahkan," jawab seorang temanku.
"Disekolahkan bagaimana maksudnya?" tanyaku penasaran.
"Kau terlalu sibuk di Bandar Raja, makanya kau tak tahu dia itu sudah meringkuk di tahanan Bunga Jeumpa," celutuk kawanku yang satunya lagi.
Anjing, sekolah maksud mereka adalah ruang jeruji besi. Dari mereka aku tahu, si Kelinci ternyata sudah terlibat penggunaan garam manis, sebutan lain sabu-sabu. Suatu siang, kata kawanku, rumah si Kelinci yang tak jauh dari rumahku, digerebek aparat. Si kelinci yang sedang menikmati garam manis tertangkap basah. Kemudian, begitulah si kelinci disekolahkan bersama si Tupai.
Tentang si Tupai, akan kuceritakan lain kali secara utuh. Ia salah seorang yang melerai si Kelinci ketika ia menghajarku tempo dulu. Si Tupai juga salah seorang pecandu garam manis di kampungku Desa Timur Laut.
Aku masih tak menduga si Kelinci ternyata sudah 'belok kiri', seperti pertemuanku dengannya yang terakhir di Bandar Raja. Sekonyong-konyong aku jadi membayangkan nasib si Kelinci di jeruji besi. Entah berapa lama ia akan sekolah. Tak ada yang tahu. Kata kawanku lagi, kabarnya si Kelinci di rujak habis-habisan oleh perangkat keras Aparat.
Duh Kelinci, begitulah rasanya saat kau menghajarku dulu, barangkali lebih parah, semoga kau tak tersadar di bangsal, batinku.
kelinci kumis kucing bisa dibilang obat untuk nostalgia
Boleh boleh
Untong hana jipeutaba keuro neuh bg garam manis 😂
#sekolahkan
Na di peutaba, tuma rouh yg garam yg asin. Kakeuh tajak u laot manteung. Haha
Semoga si kelinci akan menjadi kelinci yg manis & soleh jika sudah "lulus sekolah" nanti ya bang
@zeds 🐇🤗
Kita berharap begitu. Mudah-mudahan kak @santiintan.
Hubungannya adalah kumis dan bulu halus.
Benar juga bg. Terima kasih sudah menghubung-hubungkan. Hehe