Jauh sebelum kau mengenalku.
Aku jauh lebih dahulu mengenalmu, ketika mengenalmu di antara rak buku-buku kimia, biologi dan fisika. Kala mengenalmu di antara teori-teori dan hukum-hukum alam. Waktu mengenalmu mengenai antariksa, kebumian dan sains.
Aku yakin keilmuanmu tak harus diuji namun kau memang sudah teruji dengan itu semua.
Kau penggila mereka semua. Kau begitu berambisi untuk menjadi ilmuwan masa depan yang dapat memecahkan teori-teori baru pada meja-meja laboratorium. Atau penelitian-penelitian yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Di usiamu yang masih terbilang sangat muda untuk hal itu semua, kau pecahkan semua teeka-teki akan teory yang tidak lumrah, termasuk teka-teki kejiwaan.
Aku masih mengingat kau begitu gigih untuk mengikuti suatu kegiatan perlombaan, bahkan tingkat Internasional. Walau rezekimu hanya di tingkat nasional.
Akan tetapi rasa juangmu tak surut. Kala kau ingin balas dendam saat masuk perguruan tinggi. Dengambil mayor astronomi, dan minor fisika. Sampai pada akhirnya kau telah berkutat pada jurnal-jurnal, dan menghabiskan waktu dalam sejumlah penelitian penelitian-penelitian. Menemani dosen dan apa pun yang menyibukkanmu untuk menggapai impianmu.
Hingga tibalah pada satu titik.
Kini kau menghadapku setelah tiga tahun lepas wisuda. Dengan predikat sangat memuaskan. Mahasiswi terbaik di sala satu universitas terbaik di negeri ini. Bahkan kau siap dikirim study di luar negeri sebab prestasimu itu sangat beralasan untuk kau mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dimanapun kau inginkan.
Dengan kelantangan, tiba-tiba kau menolak.
“Je, Apa kau masih ingat, aku pernah sangat terkagum-kagum pada titik berat untuk pertama kali?
Ketika kegemaranku menghitung dua jarak dari satu planet ke planet lain dengan rumus-rumus geofisika?
Atau tentang teori kuantum yang pernah kuceritakan?”
Seketika aku mengaduk kopi panas tanpa gula di depanku. Mencoba mengingat-ingat tetapi tak juga berhasil ku ingat, karena hanya ada satu yang kuingat saat itu,
“Fa, aku hanya ingat tentang ekspresimu yang gila itu. Tidak dengan teori-teori yang kau utarakan atau yang kau dalami kala itu.”
Selalu seperti itu, tertawa pasti akan tertawa di ujung kalimatku. Lalu mengangguk-angguk seakan kau paham. beberapa waktu setelah jeda bersebab menyeruput minuman masing-masing, kau kembali menatap dengan binar dan sedikit jenaka.
"Sampai detik ini aku tidak lupa pernah mengagumi mereka semua, Je. Bahkan aku masih menyimpan segala catatan-catatan gilaku sejak SMU dulu. Dan masih tersampul rapi walau mungkin tintanya hampir luntur termakan kelembapan.
Mungkin aku perlu mengeringkannya nanti.”
“Tapi Je, sebenarnya kini aku lebih mengagumi hal lain, di atas segala teori-teori sains itu, juga di atas penemuan-penemuan baru tentang itu semua, ada yang lebih indah dan mengharukan ......”
besamaan dengan itu, kalimatmu menggantung di udara.
Dan kau juga membuang muka ke jendela, menatap hujan yang masih menggantung dan bertahan. Lalu kau menoleh pada meja kasir, seorang kasir masih sibuk mengembalikan uang pengunjung yang membayar pesanan-pesanan kopinya, kau kembali melirik minuman mint yang kau pesan, tetapi urung untuk kembali meminumnya. Sampai pada akhirnya akhirnya, kau menghadapku lagi lalu kemudian kautersenyum geli.
Aku tau, ada yang beda, aku mengamatimu tak biasa. sedikit ada resah yang kau tahan. Akan tetapi tak berani kau katakan.
“Je, bagaimana dunia ini dijaga sedemikian rupa. Bagaimana bumi ini kokoh dan seimbang menopang beban yang luarbiasa, dan bagaimana gelombang air laut diatur dengan kecepatan dan ketinggian tertentu, meski tidak menutup kemungkinan sesekali mendebur dan meluluhlantakkan daratan, namun daratan masih mampu menopang manusia dan se isinya, menjaganya, dan mengembalikannya ke wujud semula. Lalu bagaimana gunung-gunung itu walau dalam setahun telah menyemburkan wedus gembel berkali-kali, tetapi tetap mampu menahan magma panas di dalamnya. Dan bagaimana pula lapisan-lapisan dalam tanah ini siaga pada tempatnya. Padahal, Je, mereka semua punya kesempatan untuk melepas penat, seperti hal nya kita, Karena bisa dibayangkan bagaimana mereka terlalu lelah menampung para manusia, mereka lelah setiap harinya kita keruk hasil buminya. Mereka bisa saja marah, tetapi mungkin mereka menahan, atau dapat dikatakan mereka tertahan oleh sesuatu, Atau bahkan mereka sengaja ditundukkan. Kau tahu maksudku, Je?”
Kini aku benar-benar mengernyitkan dahi dalam-dalam. Sungguh aku tidak mampu menebak ke arah mana jalan pikiran keilmuwanmu, dan apa yang kau pertanyakan bermuara. Seperti biasa, aku adalah pendengar yang pasif dan menyerap informasi walaupun tak pernah sekalipun aku mengerti jalan pikiranmu saat kau bercerita banyak soal teori itu.
Kali ini aku lebih pasif dari awal, aku hanya mampu mendengar dengan serius ketika Fa terus berucap;
“Je, dengarkan aku, yang mereka bilang itu, lihatlah pada podium-podium internasional itu, mereka selalu menyebutkan dan mendalami tentang teori ledakan. Mereka masih terlau ambisius untuk mengais-ngais banyaknya kekacauan-kekacauan yang terjadi sehingga mereka lupa, dan ini tidak di bumi, tetapi di langit, di semesta, luar angkasa, sungguh mereka sering mengatakannya! Selalu dengan Tema yang umum sekali, Je!."
“Tetapi sungguh, Je, kita harus mampu merubah cara berfikir kita, tentang keimanan kita, kita harus mempertahankan diri menjadi golongan yang beriman, maka itu semua tidak ada apa-apanya. Hipotesis mereka itu, semuanya, Je, tidak perlu kita khawatirkan berlebihan. Walau kita tetap perlu mawas diri, juga waspada.”
“Tunggu, Fa. Ada pola kalimatmu yang seolah-olah itu kosa kata baru yang kau ucap, jarang sekali kau masukkan dalam kalimat ceritamu. Aku butuh jeda untuk mencerna. Lalu aku harus merangkai hipotesis sendiri. Tentu saja bukan tentang ceritamu." Dan akhirnya tersenyum.
Je, Maha Penunduk binatang liar di semesta, Je. Maha Suci DIA yang menundukkan gunung-gunung, hutan belantara, samudera, meteor dan berbagai kekacauan di antariksa. Yang Maha menjaga dan memelihara. Agar kita merasa aman. Tuhan benar-benar tidak tidur, Je!
Kita harus sadar, Sampai pada saatnya nanti, Je. Sampai pada saat ketika gunung-gunung akhirnya berterbangan bagaikan kapas, bumi sudah terlalu lelah menahan beban berat, sampai akhirnya ia muntahkan segalanya, bahkan langit tidak sekokoh yang kita kira, sampai ia dekatkan kita pada matahari. Sampai pada saat itu, sampai Allah menyilakan mereka berbuat semaunya, Allah menundukkannya untuk kita, Je.
Sungguh, ini adalah kali pertama, aku melihatmu menitikkan air mata, ternyata benar apabila kau terlalu kagum pada teori-teori semesta kau hanya akan berkaca-kaca.
Je, Tuhan tidak pernah Tidur!
Di penghujung kalimatmu aku mulai mengerti.
Sampai pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum setengah menahan linang. Kau benar-benar telah tumbuh menjadi seseorang yang luar biasa.
Tiga tahun itu, kini aku akhirnya tahu mengapa kau tak pernah menemuiku lagi selama itu. tiga tahun itu, aku akhirnya mengerti, bahwa haluanmu telah berganti.
Salam
@mc-jack
Pasti "je" sosok yang luar biasa.. sebagaimana luar biasa nya tulisan ini..
Pastinya dong... @bonbons juga luar biasa. Hahaha
je (ck) dan fa (timah) atau fe (***)
Jangan terlalu menakar dan mengukur dak, belum cukup ilmu kau. Hahaha
Bangsat betul tulisan ini. Bulu di sekujur tubuhku merinding sejak membaca paragraf 7. Buah pikiran yang menyedot jiwa...
Wihhh.... Aku baca koment abang aja merinding....
Merasa gimana gitu....
Akupun jadi ikutan merinding..