Bisa dibilang tahun 2017 itu puncaknya kawan-kawan saya menikah. Jadi, yah, diundang atau tidak diundang jadi bridesmaid, tetap saja nasib saya jadi bridesmaid. Mumpung agenda bridesmaid terakhir adalah tanggal 10 kemarin, di sini saya membagi suka dukanya menjadi bridesmaid. Bisa sebagai bacaan bagi yang tidak pernah tahu bagaimana perasaan bridesmaid atau nostalgia mengenang masa-masa menjadi bridesmaid.
Cocokkan jadwal.
Ini awal mula “halangan dan rintangan yang menimpa diri” seorang calon bridesmaid. Berangkat dari pengalaman, kawan-kawan kebanyakan menikah setelah kami masuk ke usia bekerja. Dalam artian, kesibukan setiap personel bridesmaid berbeda dan tak terprediksi. Jadi, kemungkinan jadwal bentrok dengan kerjaan atau, lebih parah, dengan acara keluarga sendiri, akan semakin besar. Maka, pemberitahuan di jauh-jauh hari sangat penting. Bridesmaid-bridesmaid ini bisa mengendalikan jadwal di hari H.
Acapkali yang membuat pening, misalnya, ada teman yang merasa “pamali” memberitahukan kapan hari H. “Nggak berani kasih tahu dulu, ntar kalo nggak jadi atau ditunda gimana? 'Kan seolah-olah terlalu ria,” (“ria” adalah bahasanya orang Aceh untuk menyebut gembira/euforia. Di Aceh, orang-orang tidak boleh terlalu ria di dalam suatu perayaan. Ada semacam kepercayaan di saat orang-orang terlalu ria, kesulitan akan datang di masa datang). Satu sisi, bridesmaid-nya tentu akan berusaha maklum, tapi di sisi lain, bagaimana dengan kemungkinan jadwal yang bentrok tadi. Jadi, salah satu suka duka jadi bridesmaid: sukanya, menghadapi hari H dengan persiapan yang baik; dukanya, menghadapi hari H dengan persiapan yang buru-buru. Lebih buruk, tidak dapat hadir sama sekali.
Sedia baju seloyor.
Ini cerita yang lain. Jika jadwal sudah tidak bentrok, fix untuk bisa hadir, dan mengabdi sebagai bridesmaid, selanjutnya adalah menyiapkan baju untuk hari H. Dulunya, saya termasuk yang masa bodoh dengan pilihan baju. Asal judulnya baju rapi dan cocok dipakai ke kondangan, ya saya pakai. Namun di suatu titik, saya harus lebih jeli dengan baju kondangan saya. Apalagi sebagai bridesmaid. Pertama, jelas-jelas ini bukan “hanya” kondangan. Kedua, sudah banyak haters. Hahaha. Kalau yang di-hate cuma saya sih, santai saja. Tapi ini bawa-bawa ibuk, ‘kan malas. Makanya, singkatnya, saya harus siapkan seloyor (bahasa jadulnya untuk gaun yang berjuntai-juntai, seperti baju pengantin) (Oke, ini hiperbola).
Persoalan baju ini pun akhirnya semakin rumit. Entah memang pada dasarnya sudah naluri korban poskolonialisme, baju bridesmaid yang sekarang populer, di Aceh, adalah baju seragam. Atau paling tidak, warnanya yang seragam. Agar mirip-mirip dengan pendamping pengantin wanita di filem-filem (barat). Seingat saya, tahun 2014 adalah kali pertama saya dan kawan-kawan memakai baju yang sama walau tidak sepenuhnya bertugas menjadi bridesmaid. Kalau benar-benar debut jadi bridesmaid, di bulan Januari tahun 2017.
Setelah Januari itu, kawan-kawan mulai berturut-turut menikah. Dengan fakta ini, baju seragampun perlu dipersiapkan. Dengan aneka warna dan aneka model. Satu baju untuk satu hari H. Akan ada jadwal baru untuk mencari kain baju dan menyerahkannya kepada penjahit. Isi dompet? Jangan ditanya. Kasarnya kain bakal baju dibayar 120-200 ribu; ongkos penjahit sekitar 200 ribu. Itu untuk satu baju.
Jadi asisten cantik.
Inti di nomor ini adalah “asisten”-nya, bukan “cantik”-nya (bridesMAID, you know-lah). Sebagaimana jadi tugas asisten yang notabene nama lain dari pembantu (“bantu: tolong; pembantu: orang yang membantu, penolong”, dari KBBI). Kurang lebih maksudnya bridesmaid ini membantu pengantin wanita untuk melakukan sesuatu karena beliau sudah terlalu cantik untuk melakukannya. Namun karena pada dasarnya di hari-hari itu pengantin wanita adalah ratu, pembantunya sudah sangat banyak, bukan bridesmaid saja, tugas bridesmaid tidak begitu ekstrim. Paling-paling bridesmaid membantu pengantin wanita merapikan pakaian atau makeup. Atau membantu pengantin wanita berjalan, dengar-dengar, sih, pengantin wanita banyak yang belajar tateh (baca:susah jalan) di hari H.
Selain itu, bridesmaid membantu pengantin wanita menyimpan barang-barang kecil. Tisu, amplop, ponsel, kipas, atau apalah. Kalau melihat bridesmaid-bridesmaid bawa clutch cantik di hari H, jangan pikir itu sebagai penyempurnaan penampilan. Isi di dalam clutch itu bisa apa aja, bahkan tak terduga. Tak jarang clutch jadi menggembung saking banyak isinya.
Salah satu pengalaman saya yang tak terlupakan mengenai fungsi bridesmaid sebagai loker ini adalah clutch yang tadi saya ceritakan di atas, saya ganti dengan ransel. Waktu itu saya sudah tidak sanggup pikir-pikir lagi. Clutch sudah tidak efektif sehingga ransel yang saya bawa untuk lokernya pengantin wanita. Waktu itu sekalipun saya sok cantik dengan seloyor dan full makeup, tetap saja sok cantiknya runtuh dengan keberadaan ransel kuning lusuh saya.
Jadi konselor dadakan.
Setelah menjadi pembantu secara fisik, bridesmaid juga dituntut untuk menjadi pembantu secara emosional. Untuk pengantin wanita yang tingkat emosionalnya naik turun menjelang hari H, keberadaan bridesmaid dituntut sebagai penyeimbangnya. Ya namanya juga berpikir tentang pernikahan, jenjang kehidupan selanjutnya. Kesensitifan pengantin wanita berada di masa-masa puncak. Mungkin di hari-hari biasa, peran penyeimbang emosi ini dipegang oleh keluarga, tapi karena keluarganya pengantin biasanya semakin sibuk di dapur atau persiapan lainnya, yang senantiasa menggantikan peran itu, ya bridesmaid-bridesmaid ini. Kepada merekalah pengantin wanita bisa curhat. Jadi, bridesmaid harus berbakat jadi konselor. Pelan-pelan menasihati atau mengingatkan.
Jangan aneh jika melihat bridesmaid yang hanya asyik berada di kamar pengantin wanita selama menjelang hari H. Bridesmaid memiliki tugas menemani pengantin wanita yang sedang dipingit. Semacam dukungan moral. Memang kesannya sangat eksklusif sih: duduk-duduk sambil tertawa, sejuk karena AC, atau mengobrol tentang makeup dan pakaian. Tapi pada momen seperti ini, pengantin wanita memang perlu diajak santai dan mengobrol ringan. Walaupun akhirnya tetangga atau keluarga jauh pada sirik.
Siap-siap dengan terpaan emosi.
Nah, kalau ini adalah dampak untuk bridesmaid yang mungkin terjadi, baik internal atau pun eksternal. Jika awalnya kita berbicara kelabilan emosional pengantin wanita menjelang hari H, ada pula kelabilan emosional bridesmaid di waktu yang sama. Ada perasaan sedih, gundah, kehilangan, terharu, senang, apapun yang akan menumpuk menjadi satu. Sedih dan kehilangan salah satu teman terdekat (ketika menyadari teman seperjuangan tidak seratus persen berada di sisi kita lagi), terharu dan senang karena teman sudah duluan menyempurnakan separuh agamanya, gundah karena belum tahu kapan kita mendapat giliran. Emosi-emosi ini sangat mungkin dirasakan bridesmaid. Saya, pribadi, tidak pernah melewatkan satu akad nikah pun tanpa tangisan. Atmosfer pernikahan sangat takzim dan suci. Seakan-akan malaikat-malaikat menaungi seluruh sisi tempat akad (Memang iya sih). Keadaan magis itu membuat saya berkali-kali menyadari pernikahan adalah salah satu ritual manusia yang paling murni.
Tapi emosi yang lain dari eksternal juga tidak kalah bermunculan. Kalau tadi-tadi itu lebih kepada emosi-emosi positif, emosi negatif juga ada. Karena pada dasarnya bridesmaid itu lebih ke “dayang-dayang”, perasaan this is not fair paling sering hadir. Di saat semua sedang sibuk mempersiapkan ini itu, pihak kepanitiaan (acara) sering mengabaikan bridesmaid yang waktu itu masuk manusia dunia ketiga. Bridesmaid bisa ngambek sehingga mulai mangkir menjalankan tugas. Di poin ini, kalau kepanitiaan sadar kemangkirannya, lagi-lagi bridesmaid disalahkan. Toh bridesmaid biasanya cewek-cewek lajang yang masih muda. Kepanitiaan yang usianya relatif lebih tua merasa masih bisa marahi anak muda.
Bridesmaid sendiri sebenarnya terminologi orang barat (lagi-lagi di sini terlihat kita sebagai korban poskolonialisme). Tapi fungsi-fungsi anak perempuan lajang yang menemani pengantin wanita ini sudah eksis sejak dulu di acara pernikahan tradisional Aceh. Walau tidak pernah ada sebutannya secara gamblang. Bridesmaid adalah sebutan yang paling mudah untuk menggantikan teman-pengantin-wanita-masih-lajang-yang-tugasnya-menemani-mereka. Panjang, ‘kan? Jadi, mungkin, kita harus kalah untuk meminjam terminologi ini.
Mengingat kawan-kawan saya sekarang sudah memasuki usia mengandung anak pertama, kemungkinan saya akan jadi bridesmaid sekitar dua-tiga kali lagi. Selanjutnya, harapan saya, orang lain yang menjadi bridesmaid saya. Sewaktu saya tulis “orang lain”, saya tidak sedang mengacu kawan-kawan yang sudah menikah itu. Satu lagi fakta yang perlu saya ungkap, keberadaan bridesmaid ini sulit saling menggantikan. “Jika suatu hari saya menjadi bridesmaid Anda, Anda akan menjadi bridesmaid saya di kemudian hari”. Tidak. Jika sudah tiba saatnya saya melangkah ke pelaminan, mantan-mantan "ratu" saya itu sudah terlalu sibuk dengan buah hati/suami mereka untuk hadir full time ke persiapan hari H saya. Saya, sebagai perwakilan bridesmaid di seluruh Aceh, maklum dengan kenyataan ini. Sudah (berusaha) ikhlas. Jadi, yang mendapat giliran menjadi bridesmaid adalah lajang-lajang yang lain. Kalaupun ada kawan-kawan saya yang sudah menikah masih mau mendampingi nantinya, luar biasa. Mereka, (akan dinilai) setianya bukan main.
Mudah-mudahan tidak terdengar sarkasme. Hanya maklum pada realita kehidupan.
Itu semua menurut saya sih. Mungkin berbeda dengan menurut Anda.
[instragram.com/humairaanwar/.jpg]()
Sudah berapa kali ditanyain, jangan jadi bridesmaid aja. Kamu nya kapan?
Next