Remangnya senja membalur sepasang insan berlari dengan tangan terpaut berdasarkan kasih. Menyusuri sepinya tempat demi berbaur dengan senyap.
Mereka meredam langkah karena napas yang terengah-engah parah. Bersandar di dinding kusam bangunan gudang tua pelabuhan. Coba membunuh lelah yang meraja.
"Masihkah kau percaya kepadaku?" Aril mengeratkan genggaman tangannya.
Nasya melengkungkan segores senyuman lembut di wajah ovalnya. "Surga akan aku datangi, Neraka akan aku pijak. Selama bersamamu, kekasihku, di belahan bumi manapun kau menuju pasti akan aku singgahi."
Anak lelaki itu lahir di kandang kuda beralas tumpukan jerami kering. Bocah dengan tangisan kencang yang terlahir dari rahim seorang budak belian, tanpa ada bapak yang mengakui.
Bocah itu tumbuh dalam kekang perintah tuan bertangan ringan yang tak segan mendera pukul ke wajah si bocah yang sangat dia benci. Paras tampan serupa bangsawan.
"Apakah sakit?" tanya si gadis kecil, anak kesayangan tuan yang tersayang.
"Sudah biasa. Hanya luka kecil," jawab si bocah yang meringkuk sakit dengan pipi lebam.
Si gadis kecil berjingkit mendekat. Mengeluarkan sapu tangan sutra untuk membasuh darah mengucur di tepi bibir.
"Cepat sembuh, dan mohon maafkan perbuatan ayahku."
Kedua bocah bersitatap lama sebelum senyum tulus menyusul berbalas. Benih rasa yang akhirnya mengerak tak pernah dapat punah terbasuh.
Si tua berkemeja lusuh berjalan terpincang-pincang dibantu tongkat kayu mahoni kesukaannya. Menyibak alang-alang dengan langkah memburu demi secepatnya sampai menuju gubuk reyot di pinggir hutan.
Lekas dibukanya pintu walau napas tersengal-sengal belum reda terhela. Memasuki ruang gelap berdebu yang lantai kayunya mendecit sewaktu dipijak.
"Ayah!"
Seorang remaja menghambur pelukan ke badan ringkih si orang tua. Menumpahkan rindu yang lama membatu.
"Apakah berhasil?" tanya si remaja bermata sendu.
Seraut senyum membayang di wajah keriput si orang tua. "Tidak lama lagi semua berakhir."
Si remaja membalas senyum lalu terduduk lega di kursi lapuk. Menatap selembar photo yang sebelumnya tersimpan di saku baju.
"Akan lunas tuntas segala inginmu, Ibu. Terbakar semua nista para bangsawan dalam jerang api pembalasan."
Rinai air mata melinang dan jatuh membasahi lembar gambar berlatar kandang kuda bertumpuk jerami.
Tepukan di pundak membangunkan si remaja dari sendu. Tangan kekar berbalut kulit keriput yang meremas kuat, seakan ingin menjalarkan bara kekuatan dan semangat.
"Lakuku telah tuntas tertunai. Sekarang giliranmu kamu, Nak. Kejar dan berlarilah menuju dan bersama mimpimu."
Mereka kembali berpelukan erat dengan haru. Mengucapkan selamat tinggal tanpa aksara, demi keberangkatan si anak menantang sinar lembayung yang memerah dilatar kobar api di jantung ibu kota kerajaan.
Re-Kun
Bandar Lampung, 24 Juli 2018
kagum dengsn aksaramu😉Masih dengan diksi-diksi cantik yang kau suguhkan @re-kun,,
Terimakasih, Cantik...
Aku juga nunggu karya fiksi kamu selanjutnya loh...
Fiksi membuat saya mengerutkan kening saat menulis @re-kun, karena tdk terbiasa menulis kisah2 cerita.
Kebalikan dari aku... :v
Luar biasa pilihan diksinya, berasa disuguhi puisi dalam sebuah flash fiction 👌
Terimakasih pujiannya, @diyanti 😊
@re-kun, thank you for supporting @steemitboard as a witness.
Here is a small present to show our gratitude
Click on the badge to view your Board of Honor.
Once again, thanks for your support!