Banjir masih terus setia menyapa kita. Bagaikan sebuah rutinitas, setiap ujung tahun banjir masih saja menyambangi pemukiman, areal pertanian, dan seluruh lini pusat aktivitas kita. Begitulah yang kita rasakan. Sebagian besar wilayah Provinsi Aceh, baik kawasan gampong maupun kota, tergenang merata setiap musim penghujan. Sebagian merupakan air kiriman dari kawasan hinterland (daerah pedalaman), yang kita sebut sebagai banjir bandang. Selebihnya adalah air yang tersumbat, baik tersumbat karena jenuh tak sanggup lagi terserap ke dalam tanah, dan tersumbat tak bisa mengalir lancar di permukaan tanah.
Yang pasti, kedua-duanya membuat hidup kita tak nyaman. Lebih sadis lagi kita menyebutnya sebagai bencana atau malapetaka. Padahal sebelumnya, air adalah sahabat dekat kita. Kita membutuhnya setiap saat. Bahkan merupakan kebutuhan vital untuk kehidupan. Logikanya, apakah mungkin sahabat dekat mendatangkan malapetaka? Dengan kata lain, sebagai musuh dalam selimut? Atau jangan-jangan ada kesalahan yang telah kita perbuat, sehingga sahabat dekat menjadi berpaling. Menjauh menjadi musuh.
Kita punya data bahwa wilayah Aceh ‘dikelilingi’ banyak sungai. Kita juga kian akrab dengan konsep pembangunan Aceh Green yang amat peduli lingkungan. Sejak zaman nenek moyang, hampir di semua pusat kehidupan manusia, sungai telah dijadikan basis kehidupan. Kota-kota besar di dunia, hampir semuanya, didirikan di tepian sungai. Artinya bahwa sungai adalah sumber kehidupan. Dari sinilah dimulainya peradaban. Segala aktivitas kehidupan umat manusia dimulai dari sungai. Life begin from here.
Dengan banyaknya sungai, seharusnya Aceh bisa mereguk banyak rahmat dan manfaat. Ambil contoh misalnya di wilayah Kabupaten Aceh Utara. Di ujung barat daerah ini ada sungai Krueng Sawang, kemudian di Kecamatan Kutamakmur ada Krueng Buloh, terus di wilayah tengah ada Krueng Pase, Krueng Pirak, Krueng Peutoe dan Krueng Keureutoe. Terus di ujung timur ada Krueng Jambo Aye yang menghulu dengan Krueng Arakundoe. Semua sungai ini adalah potensi jika dikelola dengan tuntunan yang patut dan benar.
Kita pasti sepakat bahwa air adalah sumber kehidupan. Air juga merupakan satu-satunya pembeda antara bumi dengan planet lainnya dalam tata surya yang menyebabkan bumi layak dihuni oleh manusia. Namun, kita juga tahu bahwa air adalah salah satu sumber bencana. Banjir adalah bukti dari dahsyatnya bencana yang ditimbulkan oleh air. Oleh karena itu, mengkaji air dalam bencana tidak akan kalah menarik dari mengkaji efek bencana yang disebabkan oleh air.
Jadi, jika air adalah faktor penting penyebab bencana, barangkali pandangan kita tentang air akan menentukan cara-cara kita mengatasi bencana yang disebabkan oleh air. Pandangan kita tersebut dengan gamblang atau tersirat dalam cara-cara kita menginterpretasi diri, Tuhan dan alam. Pemahaman itu, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kesiap-siagaan kita dalam menghadapi bencana.
Menjaga hulu air adalah salah satu cara menjaga dan merawat air supaya ia tetap menjadi sahabat kita. Karena air sangat penting bagi kehidupan kita, maka air harus dijaga dan ‘dihormati’ dengan cara merawatnya. Sederhananya, merawat hulu air juga berhubungan dengan persoalan kerusakan lingkungan dan faktor-faktor kebencanaan yang menyertainya.
Ketika hutan-hutan ditebang, datangnya banjir di musim hujan dan keringnya air sungai di musim kemarau, maka penyebabnya tidak lain, pasti ada hubungannya dengan perbuatan manusia.
Dengan demikian, merawat hulu sungai adalah salah satu cara mitigasi bencana, agar lingkungan tetap terawat jangan sampai rusak. Kalaupun terjadi kerusakan, maka yang harus diperbaiki bukan hanya daerah yang berada di zona rendah saja, melainkan juga dari hulu sungainya. Langkah tersebut adalah perbaikan kerusakan dari sumber masalah penyebab munculnya bencana, bukan dari pori-pori sungai, apalagi dari hilirnya.
Sudah saatnya kita mengakhiri omong kosong tentang penanggulangan banjir, apalagi menggunakan persoalan ini untuk komoditas politik. Sebab, banjir tidak akan bisa diselesaikan oleh politikus, apapun levelnya, bahkan oleh para pemodal, atau rombongan insinyur planologi sekalipun. Sebagaimana filosofi air yang melekat dalam kehidupan manusia, maka soal banjirpun perlu keterlibatan aktif semua pihak.
Masalahnya sekarang, sulit membuat orang-orang menjadi kompak. Jika banjir melanda, maka sebagian penduduk yang menjadi korban—ada yang kesal, ada yang senang karena datang banyak bantuan. Sebagian penduduk lain, ada yang bergegas urunan memberikan bantuan, ada yang menjadikan banjir sebagai tontonan dan arena selfi.
Lebih jauh, mari kita menyimak kembali filosofi air. Air, dalam hal ini berwujud banjir, menganut filosofi ‘sama rendah sama tinggi’. Seandainya tidak menganut filosofi seperti itu, mustahil banjir akan memasuki rumah-rumah mewah milik orang kaya atau pejabat terhormat yang memiliki penjaga. Sebab untuk masuk ke sana harus melewati gerbang yang dijaga Satpam atau melalui aturan protokoler yang ketat.
Jadi, sekarang mari kita menaruh perhatian khusus terhadap air. Mari kita gunakan ia sebagaimana mestinya, mari kita jaga dan rawat ia agar tidak menjadi musuh yang berbahaya. Lihat misalnya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara bersama Pemerintah Aceh, sebuah terobosan untuk merawat air di hulu sungai dengan membangun waduk raksasa di pucuk sungai Krueng Keureutoe di pedalaman Kecamatan Payabakong (perbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah). Kita patut mengacungi jempol untuk itu.
Hingga saat ini pembangunan bendungan/waduk terbesar di Aceh ini terus berlangsung. Peninjauan oleh Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf pada akhir Juli 2019 lalu, diperkirakan penyelesaian waduk ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun lagi.
Pembangunannya dimulai pada tahun 2015 ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden RI Joko Widodo, waduk/bendungan ini mengusung pola pembangunan tahun jamak (multi years) dengan anggaran APBN dan APBA. Anggaran APBN umumnya terserap untuk biaya kontruksi sekitar Rp 1,7 triliun, sedangkan anggaran APBA untuk biaya ganti rugi lahan masyarakat yang luasnya hampir mencapai 1.000 hektar.
Disebut-sebut waduk/bendungan Keureutoe merupakan salah satu dari 13 proyek bendungan strategis nasional. Bukan hanya karena berbiaya besar, akan tetapi pada spesifikasi teknis dan ukuran juga cukup diperhitungkan. Bendungan ini nantinya bakal memiliki tinggi hingga 74 meter dan panjang 386 meter. Area genangannya mencapai 896,39 hektar.
Dengan ukuran tersebut, waduk/bendungan ini mampu menampung air 215,94 juta meter kubik, cukup untuk mengairi irigasi untuk kebutuhan lahan pertanian seluas 9.420 hektar, mampu mengurangi debit banjir hingga 896 meter kubik air per detik, mampu menyediakan pasokan air baku sebesar 0,40 meter kubik per detik, dan melalui instalasi PLTA-nya mampu menghasilkan listrik sebesar 5,00 MW.
Dan yang lebih penting dari itu, pembangunan waduk ini tetap memprioritaskan konsep green yang peduli pada fungsi lingkungan. Tersebab itu, Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah sejak Juli 2017, menaruh perhatian khusus terhadap keberlanjutan pembangunan waduk Keureutoe. Khususnya dalam memploting anggaran ganti rugi pembebasan lahan masyarakat yang mencapai puluhan miliar rupiah.
Logikanya mungkin sederhana saja. Bahwa jika waduk/bendungan ini selesai nantinya, bukan hanya mendatangkan manfaat bagi ekonomi pertanian, tapi juga dapat meminimalisir bencana banjir. Ini hanya salah satu solusi teknis yang sedang dijalankan. Solusi lainnya, tentu saja terpulang kepada kita semua untuk merawat hutan di hulu sungai. Untuk itu, butuh keterlibatan semua stake holder, bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Utara Drs Amir Hamzah mengatakan meskipun pembangunan waduk Keureutoe belum selesai total, akan tetapi telah mulai memperlihatkan dampak positif bagi masyarakat. Misalnya, dalam hal debit banjir yang terjadi di wilayah tengah Aceh Utara.
“Debit banjir mulai berkurang atau mengecil dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini mungkin dampak positif yang sudah mulai dirasakan masyarakat,” ungkap Amir Hamzah usai meninjau realisasi pembangunan waduk Keureutoe bersama Wakil Bupati Fauzi Yusuf, akhir Juli 2019.
Amir Hamzah berharap, jika nantinya pembangunan waduk sudah selesai 100 persen maka dampak positif bagi masyarakat akan lebih besar dan lebih luas. Bukan hanya dalam meminimalisir debit banjir, akan tetapi juga manfaat bagi pengairan lahan pertanian, pembangkit listrik, juga pengembangan wisata bahari yang tentu saja sangat berkorelasi dengan konsep Aceh Green yang digagas Pemerintah Aceh. Semoga…! ***
Muhammad Nasir Age
Penyuka sastra dan peminat masalah lingkungan
email : nasir_gabra@yahoo.com
Sudah resteem ke ribuan follower.. 8) Terimakasih sudah memvoting kami sebagai witness.
Congratulations @nasirage! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!