“Saya tak dapat bercerai secara hukum pasal surat nikah tak ada, dulu nikah gak diangkut ke petugas pencatatan pernikahan pasal gak tau juga serta katanya ribet kalau sesegera mungkin dicatatkan itu, makanya kini tingkat jadi gak jelas, gak bisa nafkah serta anak terlantar”
Potongan kalimat di atas cuma salah satu misal dari ketidatahuan akan pentingnya pencatatan pernikahan serta baru sadar Perihal ini serius sehabis bertahun-tahun menikah. Masih banyak calon
istri bahkan seorang wanita yang telah menjadi istri sekalipun yang tak mengenali akan pentingnya pencatatan perkawinan. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan karena 2 ayat (2) menyiratkan bahwa: “ Tiap-tiap perkawinan dicatat rujukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pencatatan pernikahan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam serta Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang non Islam. Bagi pemeluk agama Islam, perceraian dikata sudah berlangsung tercatat dari ketika jatuhnya putusan pengadilan agama yang sudah berkekuatan
hukum tetap (Pasal 34 ayat (2) PP 9/1975). Sedangkan, bagi pemeluk agama disamping Islam, perceraian baru dikata berlangsung saat putusan cerai didaftarkan oleh panitera ke kantor pencatatan
sipil di tempat perceraian itu berlangsung sebagaimana diatur dalam karena 34 ayat (2) jo. karena 35 PP 9/1975 Pencatatan pernikahan bukanlah Perihal yang baru digadang-gadangkan sekarang. Namun,
dari ketika Raden Ajeng Kartini di Pulau Jawa serta Rohana Kudus di Sumatera Barat berjuang terhadap waktu dahulu telah adanya gerakan pembaharuan hukum keluarga. Kedua tokoh ini sudah
lama mengkritik keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh pernikahan di bawah umur, pernikahan bawah tangan, perkawinan paksa, serta talak sewenang-wenang dari suami. Pentingnya pencatatan
pernikahan ini dikarenakan tingkat sebagai seorang penduduk negara yang taat hukum serta sebagai guna administrasi walaupun tak menginterupsi keabsahan dari sesuatu pernikahan. Artinya, walaupun
tak dicatatkan, sesuatu pernikahan telah dikata sah cuma dengan hukum agama saja Menurut Prof. Dr. Bagir Manan, dalam menelisik tingkat hukum perkawinan seseorang di Indonesia sesegera
mungkin dikenal terlebih dahulu asas legalitas yang mendasari keberlakuan hukum perkawinan. Asas legalitas bermakna tiap perbuatan (tindakan) hukum sesegera mungkin atau wajib memiliki basis
hukum terdefinisi jelas yang sudah adanya sebelum perbuatan hukum tersebut dilaksanakan. guna serta kedudukan pencatatan pernikahan rujukan oleh Bagir Manan ialah buat menjamin ketertiban
hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum disamping sebagai salah satu alat evidensi pernikahan. Maka, sebagai seorang penduduk negara dari
sesuatu negara yang menjunjung tinggi hukum jelas saja pencatatan pernikahan ini menjadi area serius pasal menyebabkan konsekuensi pada tingkat hukum itu sendiri Konsekuensi yang berlangsung bila pernikahan tak dicatatkan adalah:
Bagi anak, anak yang dilahirkan dari pasangan yang tak dicatatkan pernikahannya sebagai anak tak diakui secara sah oleh negara, yang jelas saja akan berdampak terhadap kehilangan haknya. Padahal anak layaknya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 mengenai Perlindungan
Anak mempunyai hak sebagai berikut:
hak menemukan kewarganegaraan (Pasal 5),
hak buat menemukan pelayanan kebugaran kebugaran serta jaminan sosial (Pasal 8)
hak dalam menemukan pendidikan (Pasal 9)
dan hak-hak lainnya hak-hak tersebut tak bisa diterima oleh anak disebabkan statusnya yang tak
dikata sah secara hukum. disamping itu, anak cuma memiliki kaitan perdata dengan ibu serta
keluarga ibu saja dan dalam akta kelahiran akan ditulis sebagai anak diluar nikah pasal tak adanya dokumen yang sah secara hukum yang mengedepankan jikalau anak tersebut lahir dari sesuatu pernikahan yang sah secara hukum
Bagi istri, pernikahan dikata tak sah secara hukum positif maknanya Istri tak dikata sebagai istri yang sah serta tak bisa menuntut nafkah kepada suami dan saat perceraian istri tak bisa menuntut atas harta
gono gini pasal secara hukum pernikahan tersebut dikata tak pernah terjadi. disamping itu, dalam Perihal berlangsung sengketa, tak bisa meminta perlindungan kepada negara pasal dikata ilegal
Dengan konsekuensi tersebut jelas saja menjadi gambaran jikalau pencatatan sesuatu pernikahan ialah area yang serius dalam sistem pernikahan itu sendiri. Perihal ini berdasarkan terhadap ada
konsekuensi hukum dari pencatatan ini baik pada istri ataupun anak Ryan Muthiara Wasti, SH
Direktur Pusat Advokasi Hukum serta Hak Asasi Manusia
Cabang Jakarta