Azan Ashar dari Masjid Jami Bengali berkumandang merdu di tengah Kota Yangon, Myanmar. Letaknya tepat di depan Sule Pagoda. Tempat ibadah krusial dan bersejarah bagi umat Budha Myanmar.
Mesjid Jami Bengali megah dengan menara tinggi yang dilapisi keramik putih. Puluhan jamaah mengambil air wudhu dan duduk menanti iqamat. Wajah-wajah yang hadir tidak cuma masyarakat Bengali, salah satu etnis Indo-Aria. Namun juga etnis China, Burma dan Melayu.
"Ini mesjid untuk semua, tidak hanya orang Bengali," kata Muhammad Ibrahim, muazin masjid tersebut pada bulan kemudian.
Selepas salat Ashar, Ibrahim menemani merdeka.com berbincang. Selama dua puluh lima tahun di sana, pria ini berusia tujuh puluh tahun dan telah menjadi muazin Bahasa Inggrisnya fasih.
"Masjid ini tua, telah berusia lebih dari 100 tahun. Memang didirikan dulu oleh keturunan Bengali," kata Ibrahim.
Islam di Myanmar punya sejarah tidak pendek. Para pedagang dari Arab dan Persia mengenalkan Islam semenjak tahun 652M di delta sungai Irawady. Semenjak saat tersebut Islam tumbuh dan berkembang di negara yang dulu bernama Burma ini.
Dulu tidak pernah ada masalah. Selama beratus-ratus tahun, islam diterima dengan baik di sana Ajaran agama mereka dijalankan raja-raja Myanmar mengizinkan orang Islam mendirikan masjid dan. Orang-orang Muslim kebanyakan menjadi pedagang, nelayan, dan tentara.
Jumlah orang Islam di Myanmar bertambah pesat saat pendudukan Inggris tahun 1824-1984. Banyak orang dari India dan Bengali yang saat ini menjadi Bangladesh, pindah ke Myanmar.
Dibanding warga lokal Budha, masyarakat keturunan Bengali ini lebih disukai Inggris untuk menjadi pegawai kolonial. Banyak di antara mereka juga menempati posisi penting sebagai administrator di pelabuhan, tabib dan saudagar. Secara ekonomi, komunitas Muslim mempunyai ekonomi yang mapan.
Area pusat kota lama Yangon berada di sekitar Jalan Sule Pagoda. Sebab adalah pusat kota dan pelabuhan, sungguh strategis Di sana komunitas Muslim tumbuh dan berkembang ratusan tahun. Mereka pernah jadi mayoritas di area elite ini.
Nyaris di setiap blok berdiri sebuah masjid yang cukup megah. Kawasan ini jadi pusat kota dan ekonomi sampai sekarang. Tapi kini pemerintah Myanmar membangun kawasan elite baru di sekitar Danau Inya menggandeng investor dari China dan Korea Selatan.
Kehidupan beragama di Myanmar sesungguhnya kelihatan harmonis. Tidak hanya Budha dan Islam. Di sebelah masjid, tepat di depan balaikota Yangon berdiri satu Katedral. Bahkan ada pula Sinagog, tempat ibadah kaum Yahudi.
Di Kota Yangon kehidupan beragama berjalan beriringan. Biksu Budha, perempuan Muslim dengan cadarnya kemudian lalang di trotoar area Sule Pagoda yang ramai. Azan pun dikumandangkan dengan pengeras bunyi sehingga terdengar jelas.
Tak susah menemukan penjual makanan halal. Bahkan satu kafe yang tampak paling mentereng di sini ternyata menyajikan makanan halal di semua menunya.
"Islam hidup damai di Yangon sini. Bersama Umat Budha dan yang lainnya," kata Ibrahim.
Tetapi saat disinggung soal Rakhine, wajah Ibrahim berubah serius. Ia menggelengkan kepalanya.
"Telah aman, tidak ada perseteruan di sana," elaknya.
Senada dengan Ibrahim, Yunus, seorang penganut Muslim di Yangon juga tidak mau mengomentari perseteruan di Rakhine.
"Tak seperti itu ( berita di media massa)," singkatnya.
Hidup berpuluh tahun dalam cengkeraman junta militer membuat mereka hati-hati berbicara soal isu sensitif Rohingya.
Walaupun sekarang secara de facto Partai Aung San Suu Kyi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangkan Pemilu, namun Junta Militer masih sangat berkuasa. Masyarakat Muslim di Yangon secara umum tidak mau ikut andil dengan apa yang terjadi di Rakhine.
Sementara masyarakat Myanmar yang beragama Budha umumnya mendukung sikap pemerintah soal Rohingya. Mereka meyakini operasi militer di Rakhine State bertujuan untuk memerangi para teroris. Seperti apa yang ditulis media lokal di sana.
poster Biksu Wirathu, pemimpin kelompok garis keras sembilan ratus enam puluh sembilan yang anti-Islam juga terlihat terpampang di beberapa sudut kota Myanmar.
Mereka juga meyakini warga keturunan Bengali yang tinggal di Rakhine dikenal sebagai pendatang ilegal yang sampai saat masa kolonial Inggris. Karena tersebut istilah Rohingya tidak digunakan di Myanmar. Yang dipakai adalah 'Orang Bengali', atau 'Orang Muslim'.
Etnis yang sebenarnya sama dengan saudagar-saudagar yang dulu membangun masjid dan komunitas Muslim di Yangon ratusan tahun kemudian.
Tak cuma di Yangon yang pernah jadi ibu kota Myanmar, Islam pun punya sejarah panjang di Rakhine yang dulu adalah Arakan.
Saat itu penguasa Arakan diserang kerajaan Ava. Raja Narameikhla lari ke Kesultanan Bengal untuk mencari suaka tahun 1404. Selama 24 tahun, ia hidup dalam proteksi Sultan Bengal
Tahun 1430, Raja Narameikhla yang didukung tentara Kesultanan Bengal berhasil merebut kembali negaranya. Ia kembali bertahta di sana. Raja juga mengizinkan tentara Islam tersebut menetap di Arakan. Mereka lalu membangun pemukiman dan mesjid di sana.
Kerajaan Arakan pun menjadi bagian dari Kesultanan Bengal. Mereka menggunakan mata uang Dirham milik kesultanan. Bahkan raja-rajanya pun mendapat gelar Sultan, walau mereka beragama Budha. Gaya pakaian mereka pun mengikuti dinasti Mughal, seperti yang dipakai orang Bengali.
Kerajaan Arakan bertahan tiga ratus tahun lebih sebelum ditaklukkan Dinasti Konbaung dari Burma tahun
Raja-raja dinasti ini terkesan dengan keberanian dan kemampuan pasukan Islam. Mereka merekrut kembali pasukan kerajaan Arakan yang mereka taklukkan. Sampai kebanyakan pengawal pribadi raja dikenal sebagai orang-orang yang beragama Islam.
Bagaimana diputuskan oleh ada juga pengadilan dan hukum negara yang kalau orang Islam dan orang Budha bersengketa.
Semasa Inggris menjajah Myanmar, mereka mendorong migrasi besar-besaran masyarakat Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai buruh tani. Jumlahnya populasi Muslim naik dari lima puluh delapan ribu orang tahun 1872 menjadi seratus tujuh puluh enam ribu pada tahun 1942.
Pada masa ini mulai mencuat bibit-bibit ketegangan antara kaum Rohingya dengan mayoritas masyarakat Burma asli yang dengan ras Sino-Tibet.
Takdir orang Bengali Muslim di Myanmar makin memburuk sejak Burma merdeka dari Inggris tahun 1948. Sebagi kaum minoritas kekerasan sering menimpa kaum Rohingya. Mereka dituduh tidak jauh dengan Inggris yang dulu menjajah mereka. Permasalahannya tidak cuma agama, tetapi ekonomi, sosial dan kebencian bakal etnis Rohingya yang Indo-Aryan.
Mimpi buruk tersebut makin mencekam saat militer merebut kekuasaan tahun 1962. Diskriminasi pada kaum minoritas makin kencang. tahun 1982 Junta Militer menerbitkan Undang-undang kewarganegaraan baru, Rohingya tidak diakui sebagai 1 dari 135 kelompok etnis di Myanmar. Sebagian tidak kecil orang-orang Rohingya pun kehilangan kewarganegaraan.
Junta militer menuding warga Rohingya bukanlah penduduk asli Myanmar. Mereka baru datang sesudah penjajahan Inggris atau kemerdekaan Myanmar.
Hak-hak mereka untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang layak dibatasi. Sementara ketidakadilan di bidang hukum, politik dan ekonomi terus terjadi.
Tahun 2012 lalu kerusuhan pecah di Rakhine. Sementara ribuan kediaman warga Rohingya dibakar, ratusan orang tewas Sementara ribuan lain melarikan diri ke luar negeri, mereka terpaksa tinggal di pengungsian kumuh Situasi yang buruk ini dimanfaatkan Jenderal Min Aung Hlaing untuk memberlakukan darurat militer.
Puncak teror militer Myanmar terjadi bulan Agustus 2016. Penjaga perbatasan ditewaskan mereka melancarkan operasi tempur di Rakhine dengan dalih memburu gerilyawan Arakan Salvation Army atau Arsa yang. Tetapi operasi tersebut berubah menjadi genosida untuk warga etnis Rohingya.
Organisasi Dokter Lintas Batas atau Médecins Sans Frontières (MSF) mengungkapkan sedikitnya sembilan ribu warga Muslim Rohingya telah mati dalam periode antara 25 Agustus sampai dua puluh empat September.
Dalam laporan sama juga terungkap bahwa tujuh puluh satu persen atau enam ribu tujuh ratus orang di antaranya kehilangan nyawa dampak mengalami kekerasan di Negara Bagian Rakhine. Data tersebut didapat berdasarkan wawancara dengan pengungsi yang terdampar di Bangladesh.
Arus pengungsi mengalir deras ke Bangladesh. Jumlahnya sudah mendekati 1 juta orang. Terpaksa hidup dalam kamp-kamp kumuh di pesisir Cox's Bazar.
Tentara memasang ranjau darat untuk mencegah mereka balik ke kampung halaman mereka. Seorang pengungsi mengaku dipaksa melepas kewarganegaraan mereka dan lari ke Bangladesh atau dibunuh.
Desakkan dunia internasional gagal membuat militer Myanmar menghentikan genosida di Rakhine. Bumi Arakan pun semerah darah. [ian]
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.merdeka.com/khas/islam-pernah-jaya-di-myanmar.html