Kontribusi Keilmuan Alumni Luar Negeri di Aceh 11:30

in #indonesia7 years ago

imagehttps://www.google.co.id/search?q=menuntut+ilmu+ke+luar+negeri&client=ucweb-b-bookmark&biw=360&bih=640&tbm=isch&ei=hq0DW5GZEMyV8wXYzprwAw&start=20&sa=N#mhpiv=16&spf=1526967839138

Pada kesempatan kali ini saya akan melanjutkan mereview buku Acehnologi volume ketiga yang terdapat di dalam bab 30 yang berjudul Kontribusi Keilmuan Alumni Luar Negeri Di Aceh. Di dalam bab ini menjelaskan bagaimana peran alumni luar negeri di dalam masyarakat, yang berlaku di dalam sejarah pendidikan Aceh. Di dalam masyarakat Aceh menuntut ilmu ke luar negeri adalah suatu kebanggaan bagi orang tua jika melalui beasiswa, namun jika melalui biasa sendiri juga akan membuat orang tua bahagia, sehingga orang tua kerap melakukan syukuran yang menandakan bahwa anaknya akan menuntut ilmu ke luar negeri. Hal ini dapat dilihat pada sejarah intelektual Aceh dengan Timur Tengah, terdapat ulama yang menurut sejarah intelektual Islam di Aceh adalah alumni dari luar Aceh. Orang tua sering mengirimkan anak-anak mereka ke Timur Tengah karena ketika mereka pulang, mereka sangat berperan di dalam masyarakat, dengan membawa ilmu yang mereka dapati. Di dalam hal ini, dayahlah yang dijadikan sebagai tempat ketika mereka pergi dan pulang, hal ini sudah menjadi budaya di dalam masyarakat Aceh. Sampai para penjajah ke Nusantara, budaya mengirimkan anak-anak mereka ke Timur Tengah menjadi terhalang, dikarenakan para ulama sibuk melawan para penjajah bahkan itu sampai ketika Indonesia telah merdeka.

Di dalam tradisi menuntut ilmu ke luar negeri yang non studi Islam, penjajah hanya mengkhususkan bagi kelompok bangsawan Jawa. Dimana mereka mengirimkan anak-anak mereka ke Belanda atau Amerika serikat. Dengan tujuan untuk memahami hukum Belanda dan ilmu-ilmu Ekonomi. Para sarjana Aceh menuntut ilmu secara produktif. Salah satu ulama di Aceh yang tidak pernah menuntut ilmu di luar negeri namun ilmunya setara dengan para ilmuwan luar negeri yaitu Hasbi Ash-Shiddieqy.

Pada tahun 1970-an, terdapat para sarjana Aceh yang mempunyai karya-karya yang membanggakan, yang telah dirujuk oleh para sarjana luar negeri ataupun dalam negeri. Namun para sarjana ini bukan merupakan alumni dari luar negeri. Pada tahun tersebut, Aceh tidak mempersoalkan para sarjana yang berasal dari dalam atau luar negeri, mereka sama-sama mempunyai peran di dalam masyarakat Aceh. Tidak hanya itu, mereka juga telah melahirkan karya-karya kreatif yang telah dibaca oleh beberapa negara. Jika dilihat pada saat ini, alumni luar negeri sering dianggap lebih baik, padahal pada dasarnya penguasan terhadap bidang yang diambil merupakan hal yang harus diperhatikan.

Eropa, Amerika Serikat, Australia merupakan kawasan yang mendapatkan beasiswa selama studi. Bisa menuntut ilmu di kawasan tersebut tidak mudah, karena peserta harus diseleksi terlebih dahulu, mempunyai ilmu di dalam bahasa Inggris juga merupakan salah satu seleksi agar bisa diterima di dalam beasiswa tersebut. Namun orang tua lebih sering dan menyukai anaknya untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah, alasan tersebut karena ketika mereka pulang mereka tidak hanya mengetahui tentang teori, tetapi mereka juga mengetahui tentang Islam. Ketika pulang mereka kerap menjadi ustad. Tidak hanya itu, mereka juga sering berdekatan atau bersentuhan dengan rakyat kecil. Dapat dibuktikan bahwa mereka kerap mengunjungi pedesaan. Peran mereka yang lain adalah dapat menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Setelah terjadinya Tsunami di Aceh pada tahun 2004, donor luar dan pemerintah daerah mulai mengirimkan masyarakat Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 maupun S3 di luar negeri.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah sarjana luar negeri maupun dalam negeri sejatinya bukan sesuatu yang penting untuk dapat menciptakan karya-karya kreatif, sesuatu dapat diciptakan tergantung mau atau tidaknya seorang sarjana.