Aceh memiliki banyak naskah manuskrip kuno, yang didalamnya terkandung nilai-nilai sejarah, agama, kebudayaan hingga hal-hal yang berkenaan dengan kesehatan; herbal. Kekayaan manuskrip Aceh kuno merupakan representasi dari pada peradaban Aceh yang gemilang di masa lalu.
Hanya saja, keberadaan manuskrip kuno Aceh masih terpusat di tempat-tempat tertentu. Seperti di museum, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan di rumah satu dua kolektor manuskrip kuno Aceh.
Keberadaan manuskrip Aceh yang terbilang terbatas dan kurangnya sosialisasi akan pentingnya menengok kembali manuskrip Aceh, telah mendorong salah seorang kolektor manuskrip kuno Aceh, Tarmizi Abdul Hamid untuk memamerkan dan membedah koleksinya. Ia bekerja sama dengan Filolog Aceh lulusan Jerman, Herman serta dibantu oleh beberapa pengiat lainnya.
Membedah manuskrip Aceh kali ini bertujuan untuk mereidentifikasi kembali koleksi yang dimiliki Tarmizi. Saya bertanya mengapa kegiatan seperti ini baru dilaksanakan sekarang? Filolog Aceh, Herman menjawab, "Sebenarnya sudah lama kita tunggu-tunggu waktu yang tepat, cuman baru ada kesempatan sekarang. Momen Ramadan ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk melakukan 'tadarus manuskrip."
Saya termasuk salah satu yang beruntung, dapat berhadir menyaksikan proses pagelaran sekaligus pembedahan 101 naskah manuskrip kuno Aceh, yang berlangsung di "Rumoh Manuskrip Aceh".
°Beberapa koleksi naskah manuskrip kuno Aceh°
Tentu ini merupakan sebuah pengalaman berharga untuk melihat lebih dekat, belajar lebih banyak, juga dapat mereportase kegiatan tersebut.
Lorong Kejora No 8, Ie Masen, Banda Aceh, Selasa (5/6) tampak tenang. Di sebuah rumah permanen yang belum seutuhnya dicat sempurna, tampak berjejer beberapa buah mobil juga motor. Rumah itu adalah milik Tarmizi Abdul Hamid, seseorang yang telah mewakafkan hidupnya untuk merawat khazanah manuskrip Aceh.
Saat saya bertanya apa saja koleksi manuskripnya, ia menyampaikan, bahwa koleksi manuskripnya beragam. Ada Mushaf, Fiqih, Tasawuf, Tata Bahasa Nahu Saraf dan Hadits. Selebihnya dari itu, masuk ke dalam katagori "dan lain-lain (dll)".
Salah satu kelebihan manuskrip kuno Aceh terletak pada identitasnya. Hal ini diterangkan Herman. Identitas sebuah manuskrip dapat dilihat dari 'watermark', catatan akhir si pengarang.
Informasi paling menarik mengenai naskah manuskrip Aceh terletak pada kertas. Herman menerangkan bahwasanya rata-rata kertas manuskrip Aceh berasal dari kertas Eropa. "Cuman belum ada penelitian hubungan Aceh dan Eropa terkait penggunaan kertas tersebut," akunya.
Kesemua kertas yang berasal dari Eropa tersebut berkisar pada abad 16-17. Pun demikian, ada pula yang berasal dari abad ke 18. Tetapi tidak diperuntukkan untuk mushaf. Ada satu perusahaan yang berasal dari Italia, saat tau naskah Aceh ber-watermark perusahaan ayah atau kakeknya dulu, ia ingin membeli kembali semua koleksi manuskrip Aceh kuno yang ada watermark perusahaannya.
°Contoh Watermark yang Terdapat pada Lembaran Naskah Manuskrip°
Diprediksi, kertas yang berasal di abad lampau tersebut ada, tidak terlepas dari kolonialisasi. Dimana ada hubungan bisnis antara Aceh dan Eropa. Aceh, selain memiliki rempah dan kekayaan alam lainnya, bagi orang asing juga cukup dikenal karena kelebihan di sektor agama.
Tarmizi yang juga sering disebut Cek Midi mengkomparasikan, "Kalau kita lihat perbandingan, masyarakat Jawa untuk manuskrip kertas yang digunakan untuk naskah atau mushaf dibuat sendiri. Sedangkan Aceh tinggal minta ke Eropa, makanya daya tahan kertasnya lama. Kertas manuskrip Aceh kualitasnya bagus."
Cek Midi mencoba menirukan perkataan orang Aceh zaman dulu, "Tolong perusahaan luar buat kertas terbaik, agar anak cucuku kelak bisa membacanya," ucapnya dengan mata seolah sedang berada dalam dimensi imajiner masa lampau.
Ia juga menceritakan, bahwa koleksi miliknya sudah pernah direstorasi pada tahun 2009 dan 2013. Baginya, yang terpenting bagi masyarakat adalah sosialisasi dan edukasi mengenai manuskrip Aceh.
Ketika disinggung mengenai peradaban modern yang salah satu produknya ialah maraknya digitalisasi, apakah ia akan mendigitalisasikan koleksi manuskripnya dan apa pandangannya terhadap fenomena tersebut.
Cek Midi mengaku tidak keberatan terhadap digitalisasi manuskrip, ia terbuka untuk siapa saja. Hematnya, digitalisasi penting karena dapat menyimpan naskah sebagai sebuah upaya safety. Andai saja terjadi musibah seperti gempa dan tsunami, setidaknya naskah masih tersimpan dalam format digital.
°Proses Digitalisasi Manuskrip°
Bahkan, akunya, di tahun yang lalu (2017) saat proses digitalisasi dilakukan besar-besaran, semua lembaga, instansi memberikan dan melaksanakan, hanya dia seorang yang tidak mau. Ia sempat diajak salah seorang Profesor dari Jerman. Dan beberapa lembaga luar lainnya, salah satu yang menyarankannya datang dari Malaysia.
Bagi Cek Midi, yang tidak boleh dipungkiri adalah esensi daripada naskah asli yang otentik, "Orang-orang dapat langsung melihat kondisi naskah. Ada peran Filolog di sana. Jika semua digital, dikhawatirkan dapat memiskinkan ilmu. Mereka tidak pernah lagi melihat yang seperti sekarang."
Karena baginya, yang terpenting adalah masyarakat, untuk pendidiknya agar mereka tau identitas Aceh itu seperti apa. Ia membuka akses untuk siapa saja, "Insya Allah kita berikan."
Yang ia khawatirkan ialah asing, tapi tidak fobia. Dalam hal ini ia tidak mau naskah manuskrip kuno Aceh disalahgunakan, "Kita membatasi asing. Jangan-jangan dibuat jaringan bisnis tersendiri. Tidak dipublis ke masyarakat." Cek Midi ingin semua orang dapat belajar dari manuskrip, dan bukan digunakan untuk kepentingan individu.
Sebanyak 60 naskah manuskrip kunonya telah ia digitalisasi. Pihaknya juga terus berkerjasama dengan semua pihak, menginggat apa yang ia miliki sekarang adalah bagian dari pada warisan tamaddun Melayu.
°Tiga Orang Petugas Sedang Membedah Manuskrip°
Ia juga berharap kepada pemerintah kiranya dapat melestarikan, memberdayakan serta mendukung segala hal yang berkaitan dengan naskah manuskrip kuno Aceh. Karena hal ini merupakan peninggalan budaya yang memiliki nilai luar biasa.
Dalam naskah manuskrip kuno Aceh tersebut, banyak berupa isi buah pikiran dari pada ulama besar Aceh ataupun ulama besar luar Aceh yang memiliki hubungan dengan Aceh.
Seperti karya Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin As Sumatrani, Nurdin Ar-Raniry, Syeikh Abdul Rauf As-Singkili, Muhammad Daud Baba Rumi (Turki), Muhammad Khattib Langgieng. Syeikh Zakaria Ansari (Arab), Syeikh Jalaluddin Johan Syah (Pijay), Fakih Jalaludin, Tgk Syiek Di Pante Kulu. Dan masih banyak lainnya.
Pagelaran dan bedah 101 naskah manuskrip kuno Aceh akan berlangsung selama 10 hari, dari tanggal 28 hingga 6 Juni 2018. Bagi siapa saja yang mungkin pemasaran dan mau menggali lebih banyak, silahkan datang. Apa yang saya tulis ini masih terbatas dan merupakan riset kecil-kecilan pribadi.
Menyimpan manuskrip ini dalam bentuk digital sangat penting, karena selain merawat bentuk fisik dari manuskrip yang bernilai sejarah ini, yang lebih penting adalah menyimpannya dalam format yang aman, sehingga dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi sekarang dan generasi selanjutnya. Keetas dan Watermarknya keren yaa :)
Setuju. Kalau kertas, em hana lawan!
Salut sama sama Pak Tarmizi
Semoga ada yang menterjemahkan sehingga bisa dinikmati orang awam seperti kami
Semoga bung. Kalau tidak diterjemahkan, em menchokoloh kepala kita-kita ini.