Hello, Stemian!
<p dir="auto">This time, I will discuss the issue of the diminishing of cultural and traditions in Aceh. I once made a post on a social media in the form of my opinion on the cause of the backdrop of culture, customs and traditions in Aceh. Regarding my posting about the saddening of school activity activities that are more concerned with enabling MarchingBand as Extra-Curricular <pre><code>From the introduction and learning of traditional instruments which in fact is its own locality. It should be that the reality that is happening today can be the benchmark of how strong our culture and traditions today are compared to how great and magnificent our culture is to know all over the world that Aceh exists and is strong in its traditional culture and traditions. And the problems that cause school performance like reluctant to build it all are back to my point of view this time. Item there are several things (other than me) that according to the experts of the Culture and Historians, polemics of cultural setbacks, among others: <ol> <li><p dir="auto">Because there is a transition period wherein the influence of outside culture and the pattern of outsider thinking in the sense of existentialism brought into Aceh to change the mindset of the community that the Culture is not always talking about classic things but also speaks of prosodic prosperity in the era of all sophisticated. The transition period is the time in which people's mindset begins to be indoctrinated to think logically but forget about the selfishness of itself. <li><p dir="auto">Lack of strength from within. That is, the lack of self-defense in society to fortify the mindset for not being easy to follow. <li><p dir="auto">Lack of human resources to help maintain local customs and traditions. Lack of cadres in this case also often deals with the discussion of economic factor problems so that the mindset of society will turn out to be "There is no point in thinking about this culture, that culture, these customs and customs! The stomach will not be filled if it only defends culture and tradition!". <li><p dir="auto">Lack of empowerment or doctrine to children from the family and educational institutions in forming a mindset that this culture and customs should take care of, we must defend, because this is our identity. In this case the Education and Family Institutions play an important role in making the child aware of their identity. <p dir="auto">So, our culture and customs are very important. If I as a writer say that the cultural and customary tradition of the tradition is because the school parties are reluctant to teach or invite students to deepen our culture. There is, tradition art is the only race project. Sometimes there is sometimes a school that feels stupid with the development of cultural identity and customs of the tradition itself. I say this because I think school is one of the places we all learn to know and know even make us understand how important the culture and art of local traditions are. Miris sees the students most familiar with the Marchingband musical instrument which is not a musical instrument. Especially play it. <p dir="auto">Let me give you an example, in the event of earthquake and landslide in your area and our friends in Gayo, my friend and friend of the Lazuadi Literature Community came down as a volunteer. That day I was a mentor to eliminate traumatic children who became a disaster victim by making some games and teaching how to read poetry. Well, most of them average 6-11 years old. And they can I say skillfully playing didong and hapal techniques and even his poetry. Didong is one of the typical arts of the highlands of Gayo, Central Aceh. Well, those who are still young I'm good at playing their traditional art. Why? A stronger and more intense introduction up to strong desire and determination to continue developing tradition. So from now on their art is still decreasing every generation. So is the Bali area. <p dir="auto">Well, how can we overcome the deterioration of our cultural and traditions development with this current state of affairs? If we are not adults and who should understand, who else? <p dir="auto"><img src="https://images.hive.blog/768x0/https://img.esteem.ws/4bj04e1a9u.jpg" alt="image" srcset="https://images.hive.blog/768x0/https://img.esteem.ws/4bj04e1a9u.jpg 1x, https://images.hive.blog/1536x0/https://img.esteem.ws/4bj04e1a9u.jpg 2x" /><br /> (sumber ilustrasi diambil dari google) <pre><code> ===================================================== <p dir="auto">ACEH DAN KEMUNDURAN BUDAYA <p dir="auto">Halo, Stemian! <p dir="auto">Kali ini, saya akan membahas isu semakin berkurangnya hal hal yang berbau budaya dan tradisi di Aceh. Saya pernah membuat sebuah postingan pada sebuah media sosial berupa opini saya tentang penyebab mundurnya budaya, adat, dan tradisi di Aceh.Terkait postingan saya tentang mirisnya kegiatan kegiatan sekolah sekolah yang lebih mementingkan menghidupkan MarchingBand sebagai Ekstra Kurikuler dari pada pengenalan dan pembelajaran alat musik tradisional yang notabene adalah lokalitas sendiri. <p dir="auto">Harusnya realita yang terjadi pada saat ini bisa menjadi tolak ukur seberapa kuatkah kebudayaan dan adat tradisi kita saat ini jika dibandingkan dengan betapa hebat dan megahnya kebudayaan kita hingga di kenal di seluruh pelosok dunia bahwa Aceh ada dan kuat dalam budaya dan adat tradisinya. Dan permasalahan bersebab kinerja sekolah seperti enggan membangun semua itu kembali menjadi bahan opini saya kali ini. <p dir="auto">Ada beberapa hal (selain saya) yang menurut pakar Budayawan dan Sejarawan, polemik kemunduran budaya, antara lain : <ol> <li><p dir="auto">Bersebab ada masa transisi dimana dengan masuknya pengaruh budaya luar dan pola pemikiran orang luar dalam artian paham eksistensialisme yang dibawa masuk ke Aceh hingga merubah pola pikir masyarakat bahwa Kebudayaan itu tak selalu berbicara tentang hal hal klasik namun juga berbicara kemodernan yang patut diperjuangkan di era kehidupan yang serba canggih ini. Masa masa transisi inilah masa di mana pola pikir masyarakat mulai terdoktrin untuk berpikir secara logis namun melupakan jati diri kelogisan itu sendiri. <li><p dir="auto">Kurangnya kekuatan dari dalam. Maksudnya, kurangnya pertahanan diri dalam masyarakat untuk membentengi pola pikir untuk tak mudah di susupi. <li><p dir="auto">Kurangnya sumber daya manusia untuk membantu mempertahankan budaya dan adat tradisi lokal. Kurangnya kader dalam hal ini juga seringkali menyangkut pembahasan masalah faktor ekonomi sehingga pola pikir masyarakat akan berubah menjadi "Tak ada gunanya memikirkan budaya ini, budaya itu, adat ini dan adat itu! Perut tak akan terisi jika hanya membela budaya dan tradisi saja!". <li><p dir="auto">Kurangnya pemberdayaan atau doktrin kepada anak-anak dari pihak keluarga maupun instansi pendidikan dalam membentuk pola pikir bahwa budaya dan adat tradisi ini harus kita jaga, harus kita pertahankan, karena inilah identitas kita. Dalam hal ini Instansi Pendidikan dan keluarga berperan sangat penting membuat anak menyadari identitas mereka. <p dir="auto">Jadi, budaya dan adat tradisi kita itu sangatlah penting. Jika saya sebagai penulis mengatakan bahwa kemuduran budaya dan adat tradisi itu karena pihak pihak sekolah yang enggan mengajarkan atau mengajak anak murid untuk lebih dalam menyelami budaya kita ini. Yang ada, kesenian tradisi saja menjadi proyek waktu perlombaan saja. Itupun terkadang ada pihak sekolah yang merasa masa bodoh dengan pengembangan identitas budaya dan adat tradisi itu sendiri. Saya mengatakan ini karena saya berpikir sekolah sekolah adalah salah satu tempat kita semua belajar mengenal dan mengetahui bahkan membuat kita paham seberapa besar pentingnya kebudayaan dan kesenian tradisi daerah. Miris melihat para siswa kebanyakan lebih mengenal alat musik Marchingband yang nota bene alat musik dr luar. Apalagi memainkannya. <p dir="auto">Saya beri contoh, saat terjadi musibah gempa dan longsor di daerah saudara dan teman teman kita di Gayo, saya dan teman teman Komunitas Sastra Lazuadi turun sebagai relawan. Hari itu saya sebagai mentor untuk menghilangkan traumatis anak anak yg menjadi korban bencana dengan membuat beberapa permainan dan mengajarkan cara membaca puisi. Nah, kebanyakan mereka rata rata berumur 6-11 tahun. Dan mereka bisa saya katakan mahir bermain didong dan hapal teknik tekniknya bahkan syairnya. Didong adalah salah satu kesenian khas daerah dataran tinggi gayo, Aceh Tengah. Nah, mereka yang masih kecil saya mahir bermain kesenian tradisi mereka. Kenapa? Pengenalan yg lebih kuat dan terus menerus hingga muncul keinginan dan ketetapan hati yang kuat untuk terus mengembangkan tradisi. Maka dari itu sampai sekarang kesenian mereka masih menurun tiap generasi. Begitu juga daerah Bali. <p dir="auto">Nah, bagaimana cara kita mengatasi kemunduran perkembangan budaya dan tradisi kita dengan keadaan yang miris ini saat ini? Kalau bukan kita yang orang dewasa dan yang seharusnya paham, siapa lagi? <p dir="auto"><img src="https://images.hive.blog/768x0/https://img.esteem.ws/t14jfnbu4t.jpg" alt="image" srcset="https://images.hive.blog/768x0/https://img.esteem.ws/t14jfnbu4t.jpg 1x, https://images.hive.blog/1536x0/https://img.esteem.ws/t14jfnbu4t.jpg 2x" /><br /> (Sumber ilustrasi diambil dari Google)
Masih keliru menggunakan beberapa tag @pimendaryjona. Lihat tag yang populer di bawah logi Steemit. Menggunakan tag "steemit" tetapi isi postingan tidak berkaitan dengan @steemit, bisa didatangi Steemcleaner.
Oalah, gitu bang ya. Pimen gak tau. Hahahahaha
Masi belajar. Bang ajak lah pimen gabung gabung. Dengar dengar aa grup steemit untuk budaya.
Okay, saya usulkan masuk ke Steemit Budaya yang dikelola para seniman dan budayawan. Banyak informasi bermutu di sana.
Makasih ya bang!