Antara Sopi dan Kopi di Tanah Bertuah

in #aceh7 years ago (edited)

Sewaktu menonton film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, hal yang pertama sekali mengganggu brangkas ingatan hingga saya tak fokus menonton film tersebut adalah sosok yang berada di samping saya dalam foto ini.

image

Pria bertopi itu saya panggil bang Dantje. Nama panjangnya Dantje Arie Tresna Sina. Asalnya dari Kupang, Nusa Tenggara Timur [NTT]. Di kampung halamannya itu lah, cerita serta lokasi film Marlina diangkat ke layar lebar hingga di tonton jutaan orang di seluruh dunia.

Kami bisa bertemu karena pada akhir tahun 2015 lalu, bang Dantje melakukan penelitian untuk studi doktoralnya di Aceh. Bersama dengan tiga orang teman saya lainnya, bang Dantje meminta bantuan kami menemani beliau di lapangan.

Pertama sekali terpikir ingin melakukan penelitian di Aceh, dia harus menguras pikiran berulang-ulang kali untuk memutuskan datang ke mari. Antara yakin dan tak yakin. Dalam pikirannya Aceh begitu "seram", tidak toleran pada orang yang bukan satu paham agama dengan kebanyakan orang di sini. Dia takut misalnya, ketika sampai di Aceh nyawanya akan melayang.

Pikiran semacam itu, katanya saat kami bertemu untuk pertama kali di sebuah warung kopi di Banda Aceh, "datang dari media-media luar dan dalam, yang memberitakan tentang Aceh. Negatifnya terlalu banyak."

Tapi setelah sampai di sini, pandangannya tentang Aceh berubah 180 derajat. "Saya nggak nyangka, ternyata Aceh itu begini.. toh," katanya dengan logat timur yang tak bisa dengan sempurna ia tutupi. Tapi saya sungguh menyukai logat bicaranya tersebut.

Waktu itu, sepanjang menemaninya selama sebulan penuh, kami banyak bertukar cerita tentang kampung halaman masing-masing.

Suatu hari kepada saya dia bercerita tentang Sopi, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi kehadirannya oleh masyarakat NTT. Bahkan sering menjadi sebagai "pahlawan" yang bisa menyelesaikan perkara adat.

"Misalnya orang yang saling baku pukul. Kalau mau damai, Sopi jadi penengahnya. Perkara su pasti selesai sudah," kata Dantje sambil tersenyum. Dia geleng-geleng kepala.

Sopi bukanlah pahlawan berwujud manusia. Melainkan suatu minuman yang terbuat dari pohon lontar [Borassus flabellifer], yang setelah melalui proses fermentasi nantinya akan menghasilkan kadar alkohol tinggi. Yang penasaran dengan Sopi NTT bisa berkunjung ke link yang saya sertakan tersebut.

Seperti siang dan malam dikehidupan ini yang tak bisa dielakkan kehadirannya, begitu lah Sopi bagi masyarakat NTT. Dia sudah menjadi darah daging dalam diri masyarakat di sana. Diwariskan turun menurun dari generasi ke generasi.

"Nyaris sama dengan di Aceh berarti tuh, bang," kata saya menanggapi ceritanya soal Sopi.

"Tapi di sini tanpa alkohol. Nggak bikin mabuk juga. Namanya Kopi. Cuma beda 'S' dan 'K' aja, kan bang?" kata saya.

Kami berdua tergelak. Hari itu, saya merasa bang Dantje seperti saudara lama yang baru pulang dari tempat teramat jauh.

Sudah dua kali bang Dantje datang ke Aceh. Kedatangan keduanya ke mari awal tahun 2017 lalu.

Saya selalu berharap, saudara lama saya ini agar bisa datang kembali menapaki Serambi Mekkah. Berbagi cerita dan kisah lewat secangkir kopi yang tak memabukkan di tanah bertuah ini.

Sort:  

Kali nyoe engkol meuasoe lagoe. Haha.

Ko waang alfat urang kampuang barek?

iyo bang. Ba'a kabar? :)

Kabar baik, litak abang cari-cari urang kampuang main steemit, jarang bana, ko batu basuo,hehe.
jarang abang liek ang, dima posisi kini?

haha.. iyo bang. tapi ambo agak sikik jarang update. hehe.. Ambo ado di Aceh kiniko bang. Abang apo mantang di Jamaika?