Nirina tak bisa menjawab itu. Ia telah kehilangan kedua orang tuanya ketika mematuhi petugas-petugas berkostum astronot yang tak tampak kecuali wajah dari balik cadar plastik. Ia tak mungkin membiarkan Fikajy, saudara satu-satunya yang tersisa juga pergi tanpa bisa ia rawat.
“Kau tahu Fikajy, ada sebuah negeri yang sangat jauh. Negeri itu dipagari oleh gunung-gunung batu dengan puncaknya yang menjulang langit. Gunung itu begitu kokoh hingga angin jahat terhalang masuk. Sekitarnya tumbuh pohon-pohon yang daun-daunnya meruapkan udara segar dengan harum yang memenuhi penciuman. Negeri itu bernama Agabain. Tak pernah terdengar suara tangis atau rintihan sakit dari penduduknya. Mereka senang berkumpul di bawah purnama, menari dan berdendang. Tarian dengan gerak seluruh anggota tubuh yang berima menghentak diiringi nyanyian dan segala alat musik yang ada, selalu menghibur siapapun.
Semua senang, bertepuk tangan. Tak ada duka yang ada hanya suka. Makanan melimpah di atas meja-meja panjang yang bisa dijangkau tangan-tangan mereka. Minuman aneka rasa buah terus dituangkan dalam gelas-gelas kaca, menciptakan rasa yang meruah. Segala usia bergembira bahkan anak-anak hingga bayi-bayi berkulit merahpun tertawa. Tak ada yang merisaukan, semua indah adanya”.
Nirina bercerita dengan suara mendayu sambil menyembunyikan genangan air di bola matanya. Sekuat tenaga ia tahan agar tak mengaliri pipi cekungnya yang berwarna gelap serupa seluruh kulit tetangga. Ia suka menceritakan tentang negeri Agabain berulang agar Fikajy adik kecilnya terbuai.
Masa-masa kelam menyelubungi desa. Rintihan seperti tak putus terus berdengung dari mulut-mulut. Aroma kematian sudah berbulan-bulan menari-nari di udara. Malaikat pencabut nyawa tak terlihat mata yang dibayangkan Nirina berjubah hitam tentu terus mengintai. Siapa lagi hari ini?. Semuanya adalah orang-orang yang dikenal Nirina.
Di pangkuannya , Fikajy bocah lelaki berusia enam tahun itu tak juga tertidur. Ia mendengarkan, mencoba memahami cerita Nirina. Cahaya redup dari bohlam yang tergantung di atas langit-langit rumah kayu itu bergerak-gerak tertiup angin yang masuk dengan mudah dari celah-celah papan. Bayang-bayang merekapun ikut bergoyang di dinding. Angin yang beruap panas dan gerah masuk.
“Anak-anakpun bermain tak hanya dengan mainan mati yang tak bergerak, namun dengan peri-peri bersayap indah yang terbang merendah. Kau tahu Fikajy tak ada yang melarang anak-anak bermain. Sepanjang waktu, sesuka mereka. Mereka tak pernah menangis. Kau harus seperti mereka Fikajy. Hentikan rengekanmu mulai sekarang!”.
Sudah seminggu ini tubuh Fikajy memanas tinggi. Pertanda bibit penyakit terkutuk tengah menyerang tubuh kecilnya ganas. Namun Nirina menahannya di rumah tak mengirimkan ke bangsal-bangsal karantina. Ia tak sanggup menghilangkan dirinya dari pandangan Fikajy, meski ia tahu akan berbahaya bagi dirinya sendiri.
“Jika aku tak menangis apakah aku akan sembuh?”
“Tentu saja.” Kebohongan yang bukan sekali ini ia sampaikan pada Fikajy.
“Mengapa ayah dan ibu tak bertahan? Mengapa Didy, Leon, Anne dan yang lain juga tak bertahan?. Karena mereka banyak menangis?” Nirina enggan mengangguk namun ia tak juga menggeleng. Fikajy tak perlu mengerti mengapa.
“Apa negeri seperti Agabain itu bisa didatangi?”
“Sangat jauh Fikajy, sangat jauh. Bahkan jika kakimu patah atau seluruh rambutmu memutih kau tak akan sampai kesana.”
Suara Nirina terputus oleh suara lonceng dari sebuah gereja tak jauh dari pemukiman mereka. Iramanya terdengar mendayu dengan ritme lambat. Berita sedih yang dihantarkan semalam ini membuat Nirina bergerak mengangkat kepala Fikajy dan lalu meletakkannya di dipan kayu berkasur tipis. Membiarkan adiknya terlepas dari matanya sebentar, hanya sebentar saja janjinya. Lonceng gereja yang sudah seolah rutinitas itu terasa begitu akrab pendengaran mereka. Seringkali berbunyi, terkadang pagi, siang juga malam. Tak kenal waktu.
Ia menuruni tangga kayu lapuk rumah mereka. Berjalan menapaki jalan yang diapit tanaman perdu liar lalu sampai di luar pekarangan. Nirina seakan berpapasan dengan malaikat-malaikat pencabut nyawa berjubah hitam di depannya. Mereka tentu hilir mudik di seantero desa, sibuk dengan urusan mereka. Satu jiwa lagi meninggal dalam hantaran gerimis di langit malam.
“Kali ini Paulo” Suara serak berat seorang lelaki tetangga yang juga telah di pekarangan menatap ke arah gereja mengagetkan Nirina.
“Paulo telah dua puluh pekan sekarat, jika kini ia pergi ia terbebas sudah dari gerung kesakitan. “
“Dua puluh pekan itu waktu yang lama.” Ujar Nirina pelan berbisik pada angin. Tetanngganya tak mendengar. Ibu hanya sepuluh pekan dan ayah dua belas pekan.
“Ia akan dibakar malam ini juga.”
Tetap saja ada yang menggaruk hati. Jenazah dibakar?. Ini bukan prosesi pemakaman normal desa mereka. Namun jasad-jasad terjangkit itu harus dibakar sesuai instruksi petugas kesehatan berbaju rapi yang datang dari negeri-negeri asing. Tentu orang-orang yang datang dengan kerelaan hati itu telah ikut bertarung disini. Sayangnya mereka bukan dari Agabain, sehingga tentu saja mereka juga bisa merasakan duka, sakit juga ancaman. Paulo sama seperti yang lain akan dibakar dalam api besar membara, untuk memastikan tak lagi menyebarkan wabah.
Wabah ini meletihkan dengan rasa cemas. Begitu menakutkan. Andai ada rapalan mantra yang bisa memutus tragedi ini. Mantra itu harus ditemukan sekarang karena Nirina begitu membutuhkannya. Menyelamatkan Fikajy dari perpisahan karena maut. Fikajy masih begitu kecil, terlalu cepat bermain-main dengan aroma kematian. Nasib apa yang begini kejam?.
Nirina mengembalikan langkahnya ke dalam rumah, meninggalkan tetangga yang lalu melangkah menuju gereja. Tentu ia akan berkumpul dengan penduduk desa yang tersisa. Merapalkan doa-doa yang membumbung langit sangat pelan. Merapalkan syair-syair pujian, syair-syair ratapan. Nirina ikut merapal syair itu sendiri sambil berbaring disamping Fikajy yang akhirnya tertidur juga. Iapun tertidur dengan mimpi-mimpi tentang Agabain yang terasa begitu nyata.
Hari berganti Fikajy tak juga kunjung sembuh. Ia tak lagi berusaha menahan rengekannya karenan nyeri telah menyerang seluruh tubuh.
“Bertahan Fikajy! Bertahan!”
Ia menggeleng lemah. Menangis, meraung tak lagi mampu dihibur. Tentu nyeri itu memaksanya untuk membobol bendungan air di mata. Dogeng Agabain tak lagi bisa menenangkannya kini. Dan Fikajy semakin menangis tak lagi menahan, ia menjerit mengoyak hati Nirina. Tetangga tentu mendengar gerungan itu. Hingga bisul-bisul muncul di tubuhnya yang disusul dengan muntah darah juga buang air besar bercampur darah. Nirina tahu apa artinya, namun ia bertahan, keras kepala. Semua akan sama saja bagi mereka. Tetap di rumah atau di bangsal-bangsal karantina. Nirina telah putus harapan, isi kepalanya menjadi kacau. Mantra Agabain, itu yang ia butuhkan. Ia tak tahan untuk tak menyentuh tubuh Fikajy yang semakin rapuh, melepuh. Mata itu pun semakin meredup. ’Aku harus mencari mantra Agabain’ ujarnya berulang.
“Kau menahannya di rumah? Kau tahu apa yang terjadi bukan? “
Petugas berbaju astronot yang sepertinya mendapat aduan dari tetangga datang juga ke rumah mereka dengan mobil kotak berwarna putih dengan tulisan dan lambang berwarna biru. Mobil itu tak berjendela di bagian belakangnya. Mereka membawa Fikaj menjauh, menempatkannya dalam bangsal beraroma kematian yang semakin kental. Nirina tak boleh masuk ke sana namun juga tak boleh pulang lagi ke rumahnya. Ia mendapat suntikan yang sama dengan suntikan yang diberikan kepada Fikajy juga kepada seluruh penghuni bangsal. Ini hanya soal waktu, Nirina akan menghitung pekan, untuk Fikajy juga untuk dirinya.
Malam-malamnya berlalu, dengan mimpi tentang Agabain memenuhi tidur dan sadarnya. Ia membayangkan suara-suara halus penduduk itu memanggilnya, menciptakan keyakinan kalau negeri itu ada. Mereka merayunya untuk datang dan menemukan mantra kebal di sana.
Dan datang juga pagi ketika ia dibangun paksa dengan kabar kematian Fikajy. Ia diberitahu Fikaj akan dibakar. Ia meraung menggetarkan bangsal. Raungan pedih dengan hati dan kesadaran yang patah-patah. Tubuhnya sendiripun melemah dengan demam tinggi. Namun ia paksa melihat pembakaran itu, menghirup asap dan uap panas hingga tubuh gelap Fikaj berubah menjadi abu. Maut lagi-lagi menang. Gereja kembali didatangi orang-orang dengan tangis takut. Semoga bukan menjadi yang selanjutnya.
Nirina tak hendak kembali ke bangsal ia menyelinap ke jalan, melewati rumah-rumah yang semakin sepi, gedung-gedung tua kosong lalu melewati gereja dan menjauhi desa. Aku harus menemukan negeri Agabain, negeri tanpa sakit. Nirina terus melangkah tak mau berhenti. Hingga telapak kakinya melepuh di panas aspal jalanan atau tertusuk duri-duri semak yang ia lalui. Ia terus berjalan dengan kesadaran yang semakin hilang. Namun ia merasa tubuhnya ringan, diangkat dan diterbangkan ke sebalik gunung-gunung batu. Nyerinya hilang, tubuhnya menjadi segar. Ia bisa mencium uap-uap segar yang diraupkan daun-daun.
“Ia telah mati. Harus segera dibakar!” Suara-suara dari sosok berseragam astronot.
Perpaduan diksi dan alur cerita yang membuat pembaca sempat menahan nafas, saat bagaimana penyakit mengerikan itu menyerang warga yang tdk berdosaKeren cerpennya Mba @hayanufus.
Makasih mbak @ettydiallova
ada lanjutannya?
Enggak ada @hayatullahpasee
Bagus, Kak Haya.. Aku newbie disini gara2 Miraa hahaha
Welcome @cutisyana , Mira emang jadi gara2nya ya :-)
tulisannya udh saya promosikan, smg banyak yg baca
Makasih banyak kak @fararizky :-)
waah, telat ya untuk di-Upvote. Maklum, kami baru aja lahiran, akunnya baru bisa dipakai. hehehe. Btw, Haya... Kak Aini suka sekali fiksi seperti ini, mengingatkan tulisan-tulisa Lucy Montgomery atau Elena H. Porter. Love it...