Notula Kelas ke-44 FAMe: Prosedur Penerbitan dan Pengadaan Buku

in #indonesia6 years ago (edited)

Notula Kelas Ke-44 FAMe
Tempat : Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsioan Aceh
Hari/Tanggal : Rabu, 6 Juni 2018
Tema : Prosedur Penerbitan dan Pengadaan Buku serta Buku Model Apa yang Paling Disukai Penerbit

Narasumber : Notulis : @ihansunrise

  1. Kepala Bidang Deposit, Pengolahan, dan Pelestarian Bahan Pustaka Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Bapak Didi Setiadi S.Sos
  2. Direktur Bandar Publishing Banda Aceh, Bapak Mukhlisuddin Ilyas, M. Pd
    Moderator : @yarmen-dinamika (Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia)

IMG_20180606_152315.jpg

Foto dokumen @hayatullahpasee

Acara dibuka oleh moderator dengan mengenalkan latar belakang narasumber secara singkat. Direktur Bandar Publishing Banda Aceh, Bapak Mukhlisuddin Ilyas, M. Pd, mendapat kesempatan sebagai pembicara pertama.

Ia mengawalinya dengan menceritakan kilas balik kiprah hadirnya usaha penerbitan di Aceh. Sebelum tahun 2004 atau sebelum tsunami belum ada penerbit di Aceh. Satu-satunya penerbit di Aceh yang paling melegenda adalah Penerbit Bulan Bintang, tetapi kantornya ada di Jakarta. Setelah penerbit ini redup, hampir tidak ada orang Aceh yang serius menekuni usaha penerbitan. Barulah setelah tsunami muncul beberapa penerbit, bersamaan dengan munculnya banyak penulis di Aceh.

Ketika Aceh dilanda konflik, banyak karya tulis orang Aceh diterbitkan oleh penerbit di luar Aceh karena di Aceh tidak ada penerbit. Produktivitas orang Aceh dalam menulis tidak pernah vakum, walaupun konflik di Aceh terus bergolak di masa itu.

IMG_20180606_164146.jpg

Foto dokumen @hayatullahpasee

Setelah tsunami mulai bermunculan penerbit di Aceh, tak sedikit pula penerbit nasional yang menggarap naskah-naskah tentang Aceh. Apalagi ketika itu ada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, lembaga pemerintah ini secara massif mendukung eksistensi penerbit dan penulis di Aceh. Hanya saja, dalam prosesnya yang menjadi mitra BRR ini dominanya penerbit-penerbit dari luar seperti dari Jakarta, Jogjakarta, atau Bandung. Satu-satunya penerbit lokal yang mendapat dukungan ini dari BRR adalah Aceh Institute. Lembaga ini sebenarnya adalah lembaga penelitian.

Sejarah Berdirinya Bandar Publishing

Bandar Publishing muncul karena berbagai persoalan di atas. Mukhlisuddin mendirikan Bandar Publishing berawal dari kegemarannya di dunia kepenulisan, sementara akses ke penerbit dirasakan sangat susah. Hal itu membuatnya bertekad untuk mendirikan sebuah penerbit untuk menerbitkan (awalnya) karya-karyanya sendiri.

Tekadnya semakin kuat setelah ia sering berdiskusi dengan lima sahabatnya, di antaranya Bapak Adli Abdullah dan Lukman MA. Ia banyak menerima sumbangan ide dan inspirasi sehingga pada 2008, untuk yang pertama kali Bandar Publishing menerbitkan buku berjudul Aceh dan Romantisme Politik, karya Mukhlisuddin.

IMG-20180606-WA0032.jpg

Foto dokumen @hayatullahpasee

Mengenal Jenis-jenis Penerbitan:

Secara umum ada empat jenis penerbitan:
1. Penerbit Profesional.
Penerbit ini berbadan hukum PT atau CV. Jika ingin menerbitkan karya melalui penerbit ini prosedurnya adalah mengirimkan naskah, jika temanya cocok atau sesuai dengan selera penerbit maka akan diterbitkan dengan membayar royalti kepada penulis. Dalam prosesnya, dewasa ini penerbit profesional ini tak hanya memberikan royalti kepada penulis, karena pertimbangan bahan baku kertas yang semakin mahal, mereka juga melakukan sharing cost dengan penulis untuk biaya operasional.
Contoh: Gramedia, Erlangga, Tiga Serangkai, dll.

2. Penerbitan Rumahan/Indie Publishing.
Penerbit ini maksimal berbadan hukum CV. Umumnya adalah usaha penerbitan yang dikelola oleh sebuah komunitas. Meskipun indie, buku-buku yang diterbitkan penerbit model ini tetap bisa mendapatkan ISBN, dengan syarat ada surat rekomendasi dari ketua/pembina komunitas.

3. Penerbitan Yayasan/LSM/Pemerintah.
Dalam konteks ini buku-buku yang diterbitkan bersifat nonkomersil, tidak boleh diperjualbelikan.

4. Penerbitan Universitas.
Yaitu penerbit yang dikelola oleh suatu lembaga pendidikan untuk mencetak buku-buku tertentu yang hanya didistribusikan untuk kalangan tertentu. Penerbit ini juga bersifat nonkomersil, tidak berbadan hukum, tapi cukup berdasarkan surat rekomendasi rektorat/dekanan untuk mendirikan penerbitan. Idealnya sebuah kampus harus memiliki penerbit.

Bagaimana Prosudur Kerja Penerbitan di Aceh/Indonesia?
Pada dasarnya setiap naskah yang dikirim ke penerbit terdapat empat model yaitu:

1. Sistem Royalti.
Setiap naskah masuk ke penerbit dan kalau cocok dengan selera penerbit, maka akan dibiayai seluruhnya. Penulisnya dibayar royaltinya saja. Mengapa penerbit mau mengambil ‘risiko’ ini? Karena buku yang diterbitkan dinilai akan disukai pasar. Di Bandar Publishing contohnya, mereka menanggung seluruh biaya operasional penerbitan buku Acehnologi yang ditulis oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad.
2. Beli Naskah.
Setiap naskah yang masuk langsung ditransaksikan sebelum cetak atau beli putus.
Misalnya penulis menawarkan naskah bukunya Rp10 juta, setelah negosiasi disepakati harga Rp5 juta. Itu artinya penulis hanya mendapatkan hak Rp5 juta dari naskah yang ia tulis. Risikonya, jika buku ini best seller, penulis tidak mendapatkan apa pun. Naskah ini memiliki masa tenggang hak cipta oleh penerbit, setelah masa itu berlalu penulis boleh menerbitkannya kembali di penerbit lain dengan judul yang berbeda.

3. Tanggungan bersama.
Penulis mengajukan naskah, lalu penerbit menilai apakah naskah itu layak terbit atau tidak. Jika dianggap layak namun tidak begitu menguntungkan, maka biaya operasional atau biaya cetak akan ditanggung bersama. Model penerbitan ini yang banyak digemari di Aceh. Keuntungan buku juga dibagi dua nantinya.

4. Penulis membiayai seluruh biaya percetakan bukunya.
Penerbitan model ini untuk mencetak naskah-naskah dalam jumlah yang sedikit. Misalnya hanya beberapa puluh eksemplar saja.

Menerbitkan sebuah buku pada dasarnya tidak sulit. Apalagi saat ini sudah tersedia dua model percetakan buku, yaitu model printing dalam skala besar dan print on deman (POD) atau cetak buku berdasarkan permintaan. Dengan sistem POD ini penulis bisa mencetak bukunya walaupun hanya dua eksemplar saja. Namun risikonya biayanya jadi lebih besar untuk biaya teknis (layout) daripada biaya cetak.

Siapa yang paling diuntungkan dalam dunia perbukuan?

Harga sebuah buku ditentukan dari jumlah eksemplar yang dicetak.
Rumusnya: biaya cetak x 3-10. Contoh: biaya cetak buku (10.000) x 2= Rp20.000. Munculnya harga buku berdasarkan hitungan biaya yang ditimbulkan.

Di Indonesia, royalti maksimal yang diterima penulis 20% dari harga jual, tapi standar yang berlaku 10%. Kalau harga bukunya Rp100 ribu, berarti penulis mendapat royalti Rp10.000. Sisanya, 20% untuk biaya produksi, 20% merupakan biaya modal penerbit, dan 50% diambil oleh toko buku/distributor seperti Gramedia.

Beberapa penerbit juga melakukan titip jual di toko buku besar, misalnya Bandar Publishing yang melakukan titip jual di Gramedia, tujuannya selain untuk cakupan distribusi buku yang lebih luas, nama penulis bisa dikenal lebih luas.

Dalam menulis buku jangan semata-mata berorientasi pada kepentingan finansial, tetapi fokus pada orientasi pengetahuan agar bisa terus eksis.

ISBN
Sebuah buku haruslah memiliki International Standar Book Number atau ISBN. Buku-buku yang memiliki ISBN akan tercatat dalam katalog Perpustakaan Nasional dan perpustakaan daerah. Syarat mengajukan ISBN: menyertakan sampul buku, melampirkan daftar isi, dan melampirkan kata pengantar penulis.
Pendaftaran ISBN tidak dipungut biaya dan bisa dilakukan secara online, jadi berhati-hatilah pada makeral ISBN.
Data ISBN yang valid adalah yang dikeluarkan Perpustakaan Nasional, jika tidak maka buku yang diterbitkan tidak terdata di Perpusnas.

Adapun Kepala Bidang Deposit, Pengolahan, dan Pelestarian Bahan Pustaka Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Bapak Didi Setiadi S.Sos, banyak menjelaskan mengenai serba-serbi penerbitan dan pengadaan buku oleh dinas. Khusus Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh dalam setahun hanya menerbitkan empat buku. Tahun 2018 meningkat menjadi tujuh buku. Karena jumlahnya yang sangat terbatas, maka satu buku mewakili untuk beberapa daerah sekaligus.

Sedangkan untuk pengadaan buku terdiri atas hadiah, tukar-menukar, dan pembelian. Paling banyak metode pembelian yang melalui proses tender atau penunjukan langsung, tergantung besar kecilnya jumlah buku yang dibeli.

Ada juga peruntukan buku yang hanya untuk dinas/internal dan eksternal seperti untuk gampong dan mesjid. Pengadaan buku untuk pihak-pihak eksternal biasanya melalui proses pengajuan proposal yang melewati tahapan seleksi di Bagian Perencanaan. Untuk tahun 2018 Dinas Perpustakaan dan Arsip Aceh tidak melakukan pengadaan buku karena sudah melebihi kapasitas pada 2016-2017.

Buku-buku yang dibeli/diterbitkan oleh dinas diseleksi terlebih dahulu agar terbebas dari unsur SARA, pendangkalan akidah, pornografi, LGBT, radikalisme, dan ilustrasi yang tidak mendukung serta font yang tidak sesuai (huruf t yang menyerupai salib). Tim seleksi berasal dari kalangan wartawan, polisi, kejaksaan, dan ulama.[]

Thanks for dropping by

@forumacehmenulis